Mohon tunggu...
Tukiyem Satoh
Tukiyem Satoh Mohon Tunggu... -

a Japvanese lad in black suit & hard leather clog,\r\ncapture moments with Nikon D5100 & SGS II.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Petualangan Menuju Jogja

18 April 2012   13:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13461609131098173321

Perjalanan Saya dan Thomas menuju Jogjakarta Tanggal 3 November 2011 pukul 20.00 WIB saya merasa bimbang, langit mulai mendung dan angin bertiup kencang, tak lama hujan pun turun deras. Ah, nampaknya saya akan berangkat esok pagi saja, kalau hujan masih turun seperti ini. Hingga pukul 23.00, akhirnya hujan sedikit mereda, masih rintik-rintik tapi cukup meyakinkan saya untuk memulai perjalanan, daripada harus kembali ke komplek, malu karena sudah pamitan sama tetangga. Setelah mampir ke McD membeli bekal (takut lapar di jalan, tapi ternyata tidak termakan sampai di Jogja), Thomas meluncur di atas jalanan licin, melintasi Jembatan Ampera menuju Inderalaya. Beberapa waktu lalu saya menghadiri upacara wisuda Unsri ke-100 di kampus Inderalaya. Berbekal ingatan itu lah saya yakin dapat mencapai Inderalaya. Masalah ke mana arah kota Bandar Lampung akan saya putuskan setibanya di sana, sambil mempercayakan pada petunjuk jalan. Perjalanan Palembang – Inderalaya tidak macet, hanya banyak truk kayu yang tingginya cukup menimbun saya dan Thomas. Rupanya Thomas teringat film Final Destination, mata Thomas pun melirik ke kanan beberapa kali, mendapati kesempatan bagus, Thomas mengedipkan matanya kemudian menderu melaju mendahului truk tersebut. Melintasi hujan kerikil dan pembatas jalan yang hampir-hampir tak nampak, karet pelindung benturan di bumper depan Thomas pun koyak, menimbulkan bunyi seperti ayunan bouken membelah angin. Sangat mengkhawatirkan tapi saya takut berhenti di kegelapan rawa. Nampaknya Thomas perlu isi bensin, kami pun berhenti di pom, “yang penting ada logo pasti pasnya”, kata APR. Kaca Thomas tidak terlalu gelap sehingga semestinya orang dapat melihat saya dengan mudah, tapi ketika saya membuka jendela, penjaga pom langsung terperanjat. Menyadari keadaan pom yang cukup aman, saya berhenti sejenak untuk mengikat karet pelindung dengan tali rafia warna merah. Alhamdulillah saya menyediakan beberapa periferal darurat yang dapat dimanfaatkan, saya dan Thomas pun kembali melaju menuju Bandar Lampung dengan ceria. Sudah dini hari ketika mata saya terhanyut sejenak di pertigaan Manggala. “Eh, kemana ini?” Thomas membuyarkan kantuk saya. Saya membuka peta (bekal peta gratis dari acara mudik lebaran bersama XL yang dibagikan di Simpang Polda), kenapa tidak ada petunjuk sama sekali ya? Dengan memberanikan diri untuk bertanya pada beberapa orang yang berkerumun di warung, ketika saya menepi orang-orang tersebut sudah menghilang. Akhirnya saya putar balik, mencari plang petunjuk arah. Plangnya sudah hampir punah, tumbang ke tanah, “Gottcha!! Bandar Lampung belok ke kiri ternyata.” Fajar menyingsing, udara sejuk pagi menyapa saya dan Thomas di Lampung Selatan. Jalanan yang saya lewati nampak tak asing, sesaat kemudian kami pun melewati Bandara. “Benar Thomas, saya pernah melewati jalan ini semasa Rakor kemarin”, saya meyakinkan Thomas. Waktu Rakor yang lalu, saya menuju Novotel melalui jalan ini yang kala itu masih berlubang-lubang. Sekarang sudah halus. Tiba di bundaran Gajah, saya menepi. “Waktu itu saya sepeda santai, kaki saya keram dan berhenti di sudut ini..” saya mengenang. “Kenapa berhenti, kamu lelah?” ujar Thomas kaget ketika saya meminggirkannya. “Saya mau foto” hehehe. Ada ibu pemulung yang baik hati mau mengambilkan foto untuk saya, “Bu arah mana ke Bakauheni?” tanya saya. “Ke arah sana mba”; menunjuk ke arah yang berlawanan. Saya mau memutuskan putar balik tapi Thomas berkeras kalau kami sudah di arah yang benar, hingga saya terpaksa bertanya dengan orang di simpang. Katanya kami di arah yang benar, wah?? Baiklah, untuk meyakinkan saya bertanya lagi ke tukang koran di perempatan. OK, 2-1, kami memutuskan tetap melaju. Terjebak kemacetan kota Bandar Lampung, anak berangkat sekolah, keramaian pasar, saya bertanya lagi hingga akhirnya kami mendapati plang “BAKAUHENI 50KM” *).  Tancap Thom... *) Lepas plang tersebut, melaju lurus tanpa tikungan terdapat plang Bakauheni 80 KM. Looh????? Tiba di pom depan RM Tiga Saudara IV, Thomas mesti isi bensin lagi. Saya ingin langsung melanjutkan perjalanan, tapi Thomas butuh mandi. Jendela belakang Thomas tertutup lumpur hingga saya tak lagi bisa memantau lalu lintas di belakang. Akhirnya, melihat pom yang ramai, saya mencuci Thomas, mengganti air aki (mencari torong, kosok-kosok di bak sampah dan menemukan bungkus agar jelly), mengisi air wiper (habis karena sepanjang malam hujan) dan radiator coolant. Banyak orang memandangi saya, gadis dekil berjaket pink yang sudah menghitam (karena terkena oli semasa mengikat pelindung karet ke bumper depan). Thomas mandi, saya pun cuci-cuci muka biar segar dan kembali cantik hehe. Pengen mandi takut ada hidden kamera. Sambil mengistirahatkan Thomas, saya pun tidur sejenak. Recharge selesai, saya dan Thomas kembali melaju kencang menuju Bakauheni. Mendaki bukit, menuruni lembah seperti lagu opening Ninja Hattori, melihat laut hijau saya berdecak kagum “Subhanallah, indahnya”. Lepas beramah tamah dengan petugas pemeriksaan narkoba, Thomas parkir di atas ferry; "terakhir berangkat", komando sang petugas. Thomas pun berhenti di atas turbin. “kenapa itu ditali?” teriak petugas melihat Thomas yang ganteng ditali dengan rafia merah, “Just married Pak!” hahaha. [caption id="attachment_209186" align="aligncenter" width="1131" caption="Thomas di atas ferry"][/caption] Udara sangat panas, saya mendinginkan diri di Lantai II. Melihat laut sangat indah hingga akhirnya tertidur. Saya memang sudah merencanakan, di ferry adalah kesempatan tidur paling bagus, karena tidak perlu dormant sambil mengemudi. Saya kelaparan, jadi saya putuskan untuk mengambil sosis dan tidur di mobil berAC saja, eh ternyata malah pusing, seperti kotak jus dikocok-kocok. Jadi saya menunggu di Lantai II, selain lebih hening juga terhindar dari asap rokok. Setelah menunggu 3 jam berputar-putar, ferry pun mendarat di Merak sekitar pukul 16.00. Keluar pelabuhan, kebetulan ada ATM di POM, jadi kami berhenti. Uang kartal saya habis, sekalian ke toilet dan shalat. Kami pun melaju menuju Tol JAKARTA, wah ini kesempatan saya melaju 1** km/jam! Di pintu masuk tol ada tukang tahu, jajanan yang tidak mungkin saya beli kalau pergi bersama kaasan. Kesempatan, dan karena lapar jadi saya beli saja, 5.000 sekantung plastik, murah! Sambil melaju lambat menuju loket, eh lihat tukang jualnya masukin tahunya dari kantong ke plastik pakai tangan telanjang, wah tidak pakai cuci tangan padahal abis pegang uang. Ya sudah, namanya perjalanan darat dan lapar, mesti jadi orang jorok sesaat lah. Masuk ke Tol Jakarta macet, 3 jam baru keluar menuju Tol arah Bandung. Melaju di Tol Cileunyi, mata rasanya sudah sangat berat. Saya hanya berdoa ya Allah jangan katupkan mata saya, sambil menekan tombol autopilot :D Sudah malam ketika Thomas keluar Cileunyi dan berputar balik menuju Nagreg. Jalanan yang sering saya lalui kalau mau ke rumah a Bintang di Garut. Sampai pertigaan Nagreg, eh Thomas reflek melaju ke arah Garut, hingga saya paksa putar balik ke arah Tasik. "A Bintang-nya masih di Palembang loh", saya meyakinkan Thomas agar mau diajak lewat Tasik. Hujan terus menyertai kami, jalanan menurun dan berliku-liku. Mata saya lelah dan sangat mengantuk, hingga saya memutuskan tidur di POM sebuah kota kecil di Jawa Barat (in the middle of nowhere, yang setelah saya cari di peta adalah daerah Malangbong). Saya ada tidur 3 jam, makan popmie dan minum kopi ABC di warung, isi bensin, mantap seperti anak ilang di tengah malam. Mata masih ngantuk berat tapi mesti lanjut berjalan. Saya tidak mau berlama-lama tidur di POM, takut kenapa-kenapa, kan saya cewek. Thomas bukan berlari, ia terbang di atas aspal yang tergenang air gerimis tak kunjung henti. Kaca Thomas yang jamuran, memaksa saya melotot terus di malam hari dengan lampu sorot mobil yang benar-benar menyilaukan. Kami melesat tanpa ampun melewati hutan hingga jembatan Bantul. Adzan shubuh berkumandang tepat ketika Thomas melambat, menikung dari Gejayan ke Selokan Mataram. Pagar Putih pun terbuka, tanggal 5 November pukul 04.00 kami tiba di Jogja. "Sugeng Rawuh ing Ngayogyakarta Hadiningrat, Thomas"

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun