Pikiran saya gundah, kurang yakin membawa si gajah Emily, anak bontot saya yang lahir dan besar di negeri cuko untuk pergi ke negeri baso. Rencana awalnya, si gajah berwarna abu ini mau dinaikkan truk bersama barang-barang yang lain. Tetapi, karena BBM naik maka biaya truk pun naik signifikan. Setelah nego dengan berbagai vendor dan tak kunjung mendapat diskon, maka demi menghemat biaya, kami pun memutuskan untuk memaksa Emily bergerak dari zona nyamannya. Walaupun sedikit mencemaskan, badan bongsor Emily yang katanya rentan kalau diajak kencang, terlebih lagi dengan beban bawaan yang berat di pantat dan punuknya, berbagai kelengkapan keamanan yang telah dipersiapkan membuat kami cukup yakin memboyong si gajah. Persiapan Keamanan Berdasarkan data dari beberapa rekan, untuk meminimalisasi risiko selama migrasi, kami telah mempersiapkan segi tiga pengaman, tas P3K, APAR, dongkrak dan kunci-kunci, serta gomibako alias kotak sampah. Selain itu, kondisi kesehatan dan kelengkapan surat Emily pun telah siap. Persiapan Rute "Pantura macet parah, Yem..", seru Asisten Direktur saya sepulang dari Jogja. Sebuah informasi yang sangat bermanfaat untuk menentukan rute. Bersama Thomas, saya membutuhkan waktu 30 jam untuk tiba di Negeri Bapia. Ditambah data dari rekan yang baru saja kawin lari, Rawon-Lumpia memakan waktu 15 jam via jalur tengah. Jika untuk melahap Rawon-Baso butuh 2 jam, maka estimasi waktu menjadi 47 jam nonstop. Boyongan pun akan diselesaikan dalam 3 etape, musi-ciliwung, ciliwung-code, dan code-brantas, yang akan dimulai pada Rabu malam, dan akan dikemudikan secara bergantian antara saya, ayah Emily, dan kakak. Petualangan pun dimulai kembali... Mendadak hujan turun, persis 19 bulan yang lalu saat Thomas harus berpisah dengan ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara. Bagai tangis putri Fatimah atas kepergian Tan Bun An, mengantar kami dan Emily yang meninggalkan Kambang Iwak pada pukul 23.00 WIB. Di arah Bakauheni, polisi menghentikan kami. Persis seperti yang telah diperingatkan rekan, setelah kami menyerahkan surat-surat, termasuk surat jalan, dan menengok bagasi, polisi pun menanyakan berbagai alat keamanan. "Bawa segi tiga pengaman?", ujar polisi. "Saya mau lihat". "Bawa pak, P3K, kotak sampah, kunci-kunci" ujar kakak saya sembari menunjukkan setumpuk perangkat ditangannya, mempraktikkan bakat terpendam sebagai sales. "APAR ada juga loh!" Yatta!!! Lolos deh dari tilangg.. (@^^)/~~~ [caption id="attachment_279334" align="aligncenter" width="650" caption="Selamat Datang di Pulau Jawa"][/caption] Perjalanan menuju Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berjalan dengan lancar karena dilahap bertiga. Cuaca cenderung cerah dan jalanan pun aman, hanya beberapa titik kerusakan. Emily masih sehat ceria, meski hanya berhenti untuk isi minyak, ke restroom, sahur, dan buka puasa. Mendaki Bukit, Menuruni Lembah, Bak ninja Hatori, tak dapat lagi dielakkan ketika menempuh etape ke-tiga. Perjalanan santai tampa tantangan sudah berlalu. Awalnya saya berpendapat untuk melanjutkan via Surakarta, Sragen, dst. Tetapi ayah Emily berkeras, berdasarkan GPS Google Maps, dia menyarankan untuk melanjutkan via Wonosari. Jalanan berliku dan naik turun menjadi santapan. Langit pun mulai mendung, saya hanya bisa menahan napas ketika Emily menderu berhenti di subuah tanjakan sunyi dengan kanan kiri jurang, yang jalan turunannya tak tampak dari jendela kemudi. Tetapi tak ada jalan mundur, rute yang dipilih mengharuskan kami tetap menyusuri pesisir tulungagung, trenggalek, blitar, untuk sampai ke Malang. Kata pesisir memang kurang tepat menurut saya, karena jalanan tetap berada di perbukitan. Naik turun..naik lagi, turun lagi...naik lagi...turun lagi.. membosankan, meletihkan, dan menegangkan. [caption id="attachment_279341" align="aligncenter" width="650" caption="Jembatan Lengang Menuju Harapan Baru"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H