Selama 3 tahun mengamati tingkah laku manusia di kampung saya, salah satu budaya yang paling susah diterapkan selain tidak meludah dan membuang sampah sembarangan, adalah antri.
Kesampingkan dulu pelajaran PMP jaman saya SD yang mencuci otak, hingga saya selalu beranggapan bahwa orang Indonesia itu ramah dan murah senyum. Tetapi justru karena brand tersebut, maka saya pun mempraktikkan keramahan dan kemurahan senyum itu kepada siapapun, biar tidak malu-maluin orang Indonesia, pesan bu guru selalu terngiang.
Tetapi tidak ketika saya menonton sebuah iklan di televisi baru-baru ini. Diawali dengan mata saling memicing sinis antarpengunjung, bak takut kalau jatahnya direbut orang lain, kemudian disusul tulisan di papan kecil “closed” yang diputar menjadi “open” di meja loket sebuah bioskop. Seketika itu pula kumpulan orang yang sudah menunggu serta merta berebut ke meja loket, berteriak dan mengacungkan jari sejumlah tiket yang ingin mereka beli. Ternyata itu adalah iklan Indonesia Tangguh yang tayang di Cinema XXI. Benar-benar tak mempunyai budaya antri dan jauh dari keramahan, yang dulu pernah diajarkan kepada saya.
Mungkin maksud pesan iklan itu, saking inginnya menonton, hingga berebut dan tak rela kehabisan tiket. Tapi ini adalah iklan sebuah film yang semestinya bermutu, hingga ekspektasi saya tingkah laku penonton yang ditargetkan dalam iklan tersebut semestinya pun digambarkan sebagaimana penonton yang memiliki perilaku “bermutu”.
Melihat papan bertuliskan “closed”; bagi saya artinya pada saat itu mereka masih memiliki cukup waktu menunggu sampai loketnya dibuka, tentunya para pengunjung dalam iklan telah membuat sebuah barisan rapih di depan loket. Calon pembeli yang datang kemudian, menempatkan diri di belakang pengantri sebelumnya, diselingi dengan sapaan dan senyuman ramah, bukan saling melotot. Akhirnya pada saat loket dibuka, pembelian tiket dilaksanakan dengan tertib.
Dirundung kecewa, saya pun menoleh sesaat ke platform di seberang rel kereta. Saya pun terenyuh memandang sekelompok anak sekolah yang berduyun-duyun pulang dari field trip, dengan tangan bergelayut di ibu guru. Satu demi satu membuat barisan yang tertib dan rapih ke belakang, sambil menunggu datangnya kereta. Padahal, saat itu stasiun sangat sepi. Kalau mau, tak perlu mengantri, cukup bertebaran memasuki kereta dari berbagai pintu.
[caption id="attachment_211999" align="aligncenter" width="410" caption="Terenyuh memandang sekelompok anak sekolah membuat antrian tertib dan rapih, sambil menunggu datangnya kereta."][/caption] [caption id="attachment_211997" align="aligncenter" width="410" caption="Padahal, saat itu stasiun sangat sepi. Kalau mau, tak perlu mengantri, cukup bertebaran memasuki kereta dari berbagai pintu."]
Terlebih lagi jika iklan tersebut ditonton oleh generasi yang sudah lupa manfaat antri atau bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengantri. Atau mungkin ini hanyalah sebuah luapan emosi, seorang mbakyu yang selalu dipotong antriannya kapanpun dan dimanapun di kampung tempat tinggalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H