Minggu pagi selalu punya arti sendiri buat keluarga kecil kami. Ada-ada saja kegiatan yang dilakukan di waktu itu. Saya tahu ayah saya sengaja membuat kesibukan keluarga di minggu pagi. Di awal bulan misalnya saat gaji PNS nya cair, minggu pagi selalu kami gunakan untuk berbelanja ikan di paotere. Paotere dikenal sebagai Pelabuhan rakyat sekaligus pelelangan ikan di kota kami. Membeli ikan bersama selalu menjadi ritual di keluarga kami saat minggu pagi di awal bulan. Ayah dan ibu saya yang perantau dari wakatobi akan sangat bahagia dengan membeli ikan langsung di pusat lelang ikan. Ikan segar dan berlimpah di paotere selalu saja menggoyah imannya untuk membangunkanku pagi ini.
"Din din.. bangun nak.. shalat subuh baru temanika' ke pasar" kata ayah saya membangunkan
"iya pak... ughhh" jawab saya sekenanya.
Pagi ini memang badan saya agak kurang enak. mungkin karena begadang nonton bola di pos ronda samping mesjid. Berbeda dengan ayah saya meski kuat begadang tapi jam bangun paginya selalu tepat waktu pukul 04.00. mungkin itu hasil didikan ayahnya yang menjadi imam masjid di kampung saya
Saya kemudian bergegeas ke kamar mandi, buang air, cuci muka sikat gigi lalu berwudhu kemudian balik ke ruang tengah buat shalat subuh. Selepas shalat subuh saya menyalakan tv menonton sisa pertandingan bola. biasanya liga spanyol masih ada jam segini. ayah saya sendiri sedang di gudang mengambil ember dan kantong plastik buat tempat ikan nanti
tak lama kedengaran teriakan dari dapur
"Din we udin.. ambil ini teh nak... Bawa ke teras.." teriak ibu saya sekenanya
"iek ma.., tunggu..."
Meski teriak, suara ibu saya tak pernah keras. apalagi kalau memanggil saya. Seingat saya baru sekali dia memanggil saya dengan suara keras sekitar 3 tahun lalu saat saya kelas 3 SD., ketika saya bermain-main air saat rumah saya kebanjiran dan itupun karena ada anak tetangga saya yang hanyut akibat banjir.
Saya kemudian ke dapur dan mengambil teh yang disiapkan ada juga terang bulan sisa semalam. Tehnya tidak dalam cangkir. namun dalam mug berpenutup. Teh itu disiapkan menjadi bekal yang diminum di perjalanan. Kubuka penutup mugnya untuk mencium aroma teh. Uapnya kemudian berhambur lepas ke wajah saya. Ya Aroma Teh merek Gunung Mas yang mungkin kelak mungkin akan dikenal sebagai parfum khas rumah saya.
Ayah saya rupanya sudah berdiri di teras ngobrol dengan Daeng Uki. Begitu biasa kami menyapanya. Dia adalah tukang becak yang kebetulan tinggah di pinggir jalan samping kebun kami. Tampak beberapa Ubi kayu dibawanya. Hampir selalu seperti itu tiap kami ingin ke paotere. biasanya sepulang dari sana ayah saya memberikan beberapa potong ikan segar buat daeng uki.