Jumat (25/12) pagi sebuah pesan singkat masuk ke HP saja. Sebuah pertanyaan terbaca : Apa hukumnya mengucapkan Selamat Natal bagi seorang Muslim?
Saya ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan klasik yang muncul di setiap akhir Desember itu. Saya khawatir jawaban itu akan membuat si penanya tersingung, kurang puas, bahkan tidak percaya. Saya sadar diri, jawaban itu sudah tidak lagi populer di zaman kekinian.
Untung saja saat itu istri saya datang mendekat ikut membaca pertanyaan di HP itu. Sejurus kemudian dia menyuruh saya membalas pesan singkat itu. Awalnya agak ragu, tapi akhirnya saya tulis juga jawaban dan mengirimkannya.
Istri saya dibesarkan dalam tradisi Islam yang ketat sekaligus taat. Lingkungannya selama ini dikenal sebagai Kota Santri di Jawa Tengah. Di keluarganya tradisi menuntut ilmu agama juga sangat hidup. Itu dibuktikan dengan hampir semua anggota keluarga (dari pihak ibu) menjadi guru agama. Satu di antara pamannya bahkan menyelesaikan pendidikannya hingga ke Al Azhar Mesir.
Istri saya sendiri sejak SMP dan SMA dikirim oleh orangtuanya untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren modern khusus perempuan di Malang. Barulah setelah itu dia menempuh pendidikan sarjananya di kampus negeri yang sekuler, bukan agama. Intinya ia lebih mengerti ajaran Muhammad dibanding saya.
Karena alasan tersebut saya menuruti permintaannya. Bagi saya, ada kalanya kita harus lebih mempercayai seseorang dengan latar pendidikan atau ilmu tertentu (ahli). Menurut saya pertanyaan soal hubungan Natal dan Muslim adalah urusan agama, sehingga yang berhak atau lebih pantas menjawabnya adalah dia yang secara ilmu dan kapasitas memang mengerti di bidang agama (Islam).
Saya ini hanyalah Muslim biasa. Sejak bangku SD-Perguruan Tinggi tidak pernah memperoleh pendidikan agama secara memadai. Paling banter hanya memperoleh dua jam setiap minggunya. Sedangkan pendidikan agama dari kedua orangtua baru sebatas urusan salat dan baca Quran. Sejak kecil di mata saya Islam tidak lebih luas dari sujud dan tadarus.
Bagi banyak pihak, terutama mereka yang tidak ingin dianggap tidak toleran, fundamental, radikal, mengucapkan Selamat Natal bukanlah persoalan besar. Bagi mereka, ini hanyalah persoalan toleransi, kemanusian, dan sejuta alasan lain yang seolah masuk akal. Sehingga mereka bisa dengan mudahnya menganggap ucapan Natal adalah biasa-biasa saja.
Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa gambaran di atas juga saya alami. Kurangnya pengetahuan dan gejolak pemuda membuat urusan ibadah, keimanan, dan agama menjadi tidak terlalu penting. Bahkan suatu ketika saya pernah meyakini bahwa agama tidaklah prinsipil lagi. Bagi saya (waktu itu), kemanusiaan, humanisme, dan isme-ime lainnya lebih seksi untuk dijunjung.
Saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipimpin Buya Hamka (1981) persoalan hukum mengucapkan Selamat Natal bagi seorang Muslim sebenarnya sudah terang benderang. Hanya saja, selama ini kita selalu pongah mendebat penjelasan dan fatwa para ulama. Entah dengan bekal ilmu apa kita sampai berani melakukan perlawanan bodoh itu. Bukankah ulama itu para pewaris ajaran nabi?
Pemerintah sudah menjadikan 25 Desember sebagai Libur Nasional. Itu artinya pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya agar umat Kristiani mampu merayakan ataupun menjalankan ibadah Natal secara bebas. Itu bagi saya merupakan bentuk toleransi mendasar yang diberikan negara kepada umat Kristen Indonesia. Bahkan, pemerintah malalui aparat keamanan (polisi) juga sudah menjamin keamanan perayaannya.