Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Eksekutor (Secangkir Teh Tubruk)

29 September 2011   18:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima akhir bulan September kabut menghitam diseluruh penjuru bumi ibu pertiwi saat peristiwa kelam perjalanan anak bangsa ratusan ribu jadi tumbal penumpasan idiologi terganas dalam sejarah bumi Ibu Pertiwi menangis darah.

Pada bulan akhir Oktober di tahun itu, aku dapat perintah berlatih menembak, pagi siang sore ribuan butir peluru aku hamburkan dengan jarak tiga, lima, tujuh, sembilan meter, selama satu minggu. Tiada tahu tugas apa yang akan aku emban, hanya perintah itu aku jalani tiada tanya ke komandan.

Secangkir teh tubruk diangkat dilihat teh dalam gelas sudah mulai mengendap diambil sendok kecil diaduk pelan harum bunga melati diantara uap panas merebak, ditaruh dilemek pelan ditutup kembali,

Diminggu terakhir saat itu dalam keheningan malam dapat perintah, gelisah hati mendengarnya disaat malam gelap tiada bintang, tiada angin ibu pertiwi sedang berkabung. saat selepas apel pagi, menghadap di ruang komandan, kulihat tujuh anggota berdiri tegap berjajar. Perintah jelas mengambil senjata laras panjang, hanya hentakan kata, SIAAAP.

Berbalik kanan bubar keluar masuk ke mobil truk terpal dibawa ke tanah lapang jauh dari penghuni hanya dikelilingi pohon kelapa, kulihat patok besar berdiri didepanku dan dibelakangku ada tenda terpal buat komandan dan pembesar, mobil berjajar, kuberdiri berjajar menunggu perintah dipagi hari, pohon-pohon tiada bergoyang, matahari meredup tiada awan menghalang saat Ibu Pertiwi meradang.

Kulirik dari arah jalan, beriring mobil tahanan dan ambulan datang. Turun orang berseragam menggiring seseorang diikat di tiang, sebelum mata ditutup ada satu orang berkopiah putih, bersorban dan bersarung membawa buku tebal, kitab Al-Quran, berdiri disamping dia kepala menunduk, mengangguk, diam.

Mulut orang berkomat-kamit saat mata ditutup kain hitam, semua orang mundur, tinggal dia berdiri terikat dalam patok kayu besar, menunduk gelisah. rembesan air di celana hitam basah, terlihat. Aku berdiri berkeringat tiada panas, jantung berdegup keras, tegang dan doa mengiringi saat jari terpasang dipelatuk, terdengar teriakan Allahu Akbar saat barisan ambil jarak dalam ketegangan, hanya suara nafas berat saling bersahutan terdengar jelas, saatnya menahan nafas dalam hitungan detik menunggu komandan menunjuk pedang komando teriak  TEMBAAK………..

Secangkir teh tubruk di atas meja diangkat didekap diantara dua tangan meresapi kehangatanya, dilihat warna kecoklatan jernih diendus bau melati merebak wangi. Secangkir teh tubruk ditaruh dilemek, kembali ditutup.

Aku merasakan dalam batin paling dalam, terasa dijari pelatuk saat  ‘rasa’ peluru menerjang, meregang kepala terkulai diam, kuberdoa mengiringnya. Kuberbalik kanan, saat komando memberi perintah. memasuki truk berjalan pergi, didalam membisu seribu diam hanya hembusan nafas berat saling pandang sang penembak dalam tatapan mata saling bertanya dari peluru siapa dia meregang, aku ambil rokok kuhisap dalam.

Satu malam mata tak terpejam tiga lima bungkus terhisap membayang korban ideologi, terbuang, terkulai dipangkuan ibu pertiwi yang sedang meradang. aku prajurit perang ratusan orang aku terjang tiada beban kusandang saat  beribu peluru bergentayangan menerjang, melawan diberbagai medan perang. Aku meradang, saat peluruku menerjang yang berdiri dalam tiang, diam dan tumbang.

Secangkir cangkir teh tubruk dituang pelan dalam lepek piring, diangkat kedekat bibir dihisap pelan, bergetar. tercium aroma bau melati, satu dua tegukkan ‘rasa’ panas dingin, pahit, manis dan wangi, rasa perjalanan kapal layar larut dalam ombak gelombang air mata Ibu Pertiwi berdarah merah putih mengalir menerjang perjalanan anak bangsa yang kelam. Ditaruh dengan hati-hati lepek disamping cangkir teh tubruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun