Kisah ini bermula ketika aku bertanya, "Mbah disaat Peringatan Proklamasi Kemerdekaan dan lebaran berkumpul sama keluarga, apa lagi bertugas dan bagaimana suasananya?" Saat ngobrol santai, selesai sungkem lebaran di hari kedua, bila hari pertama antri. Sesaat kepala Mbah mendongak, lalu menjawab lirih "Mbah, tidak pernah berkumpul bersama keluarga baik disaat Peringatan Proklamsi Kemerdekaan maupun saat Lebaran, selama sebelas tahun, di medan perang. Suasananya tergantung situasi, kondisi dilapangan" dan pandangan mata sepuhnya menerawang jauh.
Sosok Mbah Martoyo, dok. Pribadi.
Lalu memulai kisahnya, bemula selepas Agresi II di tahun 1949. Mbah masuk Mobrib (Mobile Brigade) pendidikan di Banyubiru. Selesai pendidikan ditempatkan di Batalion 5161 Purwokerto. Dan pertama kali diterjunkan ke medan perang, di daerah Kroya Timur, wilayah Cilacap, untuk mengamankan dari sisa tentara AOI Sumalangu yang menyusup. Di tugas ini pula pertama kalinya merayakan peringatan kemerdekaan dan lebaran dimedan perang. Dan saat peringatan Kemerdekaan operasi dihentikan, posisi Mbah dekat perbatasan Banjarnegara jauh dari perkampungan. Ketika malam tujuh belas Agustus Mbah hanya mendengar kentongan dan melihat nyala obor dari kejauhan. Pagi harinya di Pos kompinya, diadakan upacara detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, begitu pula daerah/wilayah aman, memasang bendera Merah Putih dan mengadakan perayaan seperti baris berbaris, kentongan, dan lain-lain. Setelah selesai upacara, bebas tugas namun tetap waspada. Keesokan harinya melakukan penyisiran kembali dan akhirnya memergoki sisa-sisa AOI di lembah kaki Gunung Slamet sebelah utara Banjarnegara, posisinya diampit dua bukit. Ada satu kisah yang tidak dilupakan Mbah, Saat itu di seberang bukit ada gerakan pasukan tidak dikenal dan sudah berhadapan, hampir terjadi kontak senjata, beruntung ada anggota kompinya mengenali mereka dari TNI. Setelah itu penyelesainya diserahkan ke TNI, kompinya masuk ke kota Banjarnegara, lantas ditarik ke markas di Purwokerto. Baru beberapa hari tiba di markasnya, kompinya mendapat tugas membendung pergerakan DI (Darul Islam) menyusup ke wilayah Banyumah Barat. Daerah operasi Mbah mulai dari Lereng Barat Gunung Slamet, masuk wilayah Ajibarang, Wangon, Bumiayu sampai ke perbatasan Jawa Barat. Dalam operasi ini, sering kontak senjata baik saat di hadang maupun menghadang DI dan cukup banyak teman satu kompinya gugur dan luka berat. "Mbah, apa selama itu tidak dapat cuti atau minta cuti?" tanya ku di sela-sela cerita. Menurut penuturannya pernah dapat cuti tiga kali jatuh di hari-hari biasa itupun hanya lima hari dan tidak pernah minta cuti. Sekali tidak jadi cuti, saat sudah ditengah jalan dipanggil kembali kekompinya, disinyalir akan ada serangan dari DI. Benar, malam ke dua lepas Isya terjadi kontak sampai hampir Subuh. Bila memasuki bulan Agustus, patroli diintensifkan. Sebab sering terjadi kontak senjata dan menjaga daerah-daerah yang sudah aman. Sedang daerah/wilayah yang masih dibawah kontrol DI maupun yang dedekatnya, tidak ada yang berani mengibarkan berndera Merah Putih apalagi mengadakan 17 Agustusan. Menurut Mbah, DI kejam bila ada aparat, pejabat, atau ada rakyat dekat dengan tentara 'Soekarno', dan rakyat tidak bayar pajak bila tertangkap/diculik di pacung, kepalanya di gantung di batas desa dan sering ditancapkan di pagar-pagar rumah penduduk Namun berkat kegigihan perjuangan pasukannya bersama TNI dan rakyat, satu persatu daerah/wialayah dikuasainya. Akhirnya bila hari kemerdekaan tiba, bisa memperingati dan merayakannya dengan aman. Belum tuntas kompinya menjalan tugas di tahun 1957 ditugaskan ke Aceh. Setahun tugas di Aceh, keadaan kehidupan rakyatnya hampir sama di wilayah perbatasan Jawa Barat dibawah kontrol DI, bila tiba bulan Agustus, operasi lebih ditingkatkan. Sedang daerah/wilayah yang sudah aman, diadakan peringatan dan perayaan. Namun tidak semeriah di Jawa . Lalu tahun 1958 di terjunkan di Padang mengatasi gerakan koreksi PRRI. Selama tiga tahun, kompinya berpindah-pindah dari wilayah Sumatera Barat sampai Timur masuk, ke luar hutan dari satu barak ke barak dan dari satu pos ke pos yang lainnya. Tentu untuk daerah yang sudah aman, mengadakan peringatan dan perayaan kemerdekaan. Ada satu yang menarik, di tiap-tiap kampung bagi yang punya radio, rumahnya ramai rakyat sejak pagi bukan untuk upacara, menanti pidato Presiden Soekarno!. Sedang Mbah seringnya merayakan peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan di barak/pos pinggir hutan atau di kampung, selalu diikuti pemberian lencana dan penghargaan lainya, secara sederhana. Dan yang dinanti Mbah, melimpahnya kiriman makanan kaleng dan kue kaleng, waktu itu makanan mewah, bukan untuk Mbah sendiri namun untuk dibagi-bagikan di setiap desa yang dilewati saat patroli. Pada awal tahun 1961 kompi Mbah di tarik pulang ke Purwokerto, di tahun itu pula Mobrid berganti nama jadi Korps Brimob (Brigade Mobil) sampai sekarang. Lalu di akhir cerita aku bertanya "Mbah selama di medan perang bisa selamat tanpa sedikitpun terseremput peluru, mortir, roket dan granat, bisa ya Mbah". Aku terkesiap melihat Mbah menatap tajam "Donga, aja melik dunya lan madon. Panganan apa buah angger kepepet olih nanging ora kena diberkat!" jawabnya tegas. Lalu, menjabarkan maksudnya yaitu Doa, jangan mengambil dan merampas harta milik rakyat, dan 'main' wanita. Boleh ambil makanan atau buah-buahanya bila terpaksa/kelaparan tapi tidak boleh dibawa pulang!. Purwokerto, 9 Agustus 2013. Dan ini ada salah satu kisah nyata, yang tidak pernah dilupakan. Kejadiannya saat opersi di daerah Karangpucung, wilayah Cilacap Mbah melihat teman satu kompi tadinya Dia (maaf nama saya tidak cantumkan) tidak memakai cincin, namun setelah operasi penyergapan di salah satu rumah DI. Saat kumpul Mbah melihat di jari kanannya ada cincin emas besar. Lantas ditegur supaya dibuang namun tidak di gubris. Setelah itu kompinya dapat tugas patroli naik Panser, saat masuk wilayah perbukitan gunung Sangkala di hadang DI terjadi kontak senjata dan berhasil dipukul balik. Saat selesai kontak, Dia menangis meraung-raung kesakitan, setelah diperiksa 'tidak masuk akal' satu jari yang ada cincinya putus terkena peluru dan hilang, sedang jari keliking dan tengah sama sekali tidak luka? Martoyo nama Mbah ku, lahir tahun 1923, umur 90 tahun, Anggota Veteran, dinas terakhir di Polres Pati, Pangkat Sertu. Tinggal di Arcawinangun Purwokerto Timur. Mbah Putri sudah mendahuluinya begitu pula teman-teman seangkatannya. Jalan sudah pakai tongkat, namun daya ingat cukup baik, hanya lupa waktu/bulan dan nama tempat. Tidak mau menonton berita di TV, sangat sedih, marah dan sakit hati campur aduk bila melihat dan mendengar ada Polisi korupsi. Merdeka....merdeka...merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H