Di balik secangkir kopi tak sekedar cerita tentang menikmat sensasi aroma, nikmat pahit, manis atau sekedar tradisi, pengusir kantuk dan penat.
Lebih dari pada itu, bagi ibu-ibu rumahtangga sajian secangkir kopi di pagi dan petang hari adalah rutinitas seorang istri untuk sang suami penikmat kopi dan disajikan sesuai seleranyaadalah simbol cinta dan rasa hormat pada suami, pun demikian dalam interaksi sosial / bisnis suaminya adalah simbol kehangatan dan persahabatan.
Namun bisa jadi simbol suatu masalah yang terpendam, cukup mengurangi takarannya atau tak menyajikan dan sebaliknya suami tak menyentuhnya, tentu suami / istri akan mengeluh, selanjutnya adalah urusan pribadi mereka.
Penyajian pun disesuaikan waktunya kurang lebih 5 - 10 menit sebelum beraktifitas. Jeda waktu adalah pembuka obrolan disamping akan mengendapkan ampas kopi 'ledek', panas hangat, dua-tiga kali sruputan tandas, istri pun puas.
Di kampung tempat tinggal saya Desa Berkoh, Purwokerto, Banyumas. Sebelum tahun 1990-an, masih banyak pohon kopi dan proses pembuatan kopi bubuk secara tradisional yakni setelah di petik, biji kopi dibersihkan dan dikeringkan, kemudian di sangrai lalu di tumbuk dalam lesung/lumpang kayu. Bunyi gesekan alu/alat tumbuk dengan kopi sangrai akan terdengar 'creep' dan ketika menyentuh dasar terdengar 'bleg' diserap dalam bahasa Banyumasan untuk menyebut kopi bubuk dengan cepblek, sedang secangkir kopi/kopi tubruk di sebut wedang cepblek. Namun selewatnya, pohon kopi, alat tradisionalnya dan istilah cepblek dan wedang cepblek mulai menghilang, bahkan kini terlupakan diganti kopi bubuk kemasan/giling dan kopi tubruk.
[caption id="attachment_418093" align="aligncenter" width="332" caption="Secangkir Kopi. dok. Pribadi"][/caption]
Dalam interaksi sosial, di balik secangkir kopi adalah simbol status dan pergaulan, seperti bila bertandang ke tetangga, saudara, teman tidak tersaji seperti biasanya, bisa jadi: mereka sedang kesulitan keuangannya atau tidak suka disambangi?
Awal mula saya menyeruput wedang cepblek buatan Ibu, menginjak kelas satu SMA hanya sekedar pengusir rasa kantuk kala belajar dan akhirnya jadi tradisi dalam interaksi sosial/bisnis dengan berbagai kalangan bahkan lintas daerah/wilayah, kadang saling bertukar bubuk kopi, kala bersua kembali tersaji secangkir kopi adalah simbol kehangatan kasih sayang dan persahabatan hingga kini.
Dari Interaksi itu saya mengenal sensasi, aroma, nikmat pahit manis kopi bubuk berbagai wilayah, seperti Wonosobo, Gunung Kidul, Tanatoraja, Lampung, Aceh dan kopi bubuk kemasan/giling. Namun, akhir-akhir ini sedang gandrung menyeruput kopi oplosan, seperti apa? Tunggu ulasanya setelah jeda tayang yang satu ini, srupuut.... (SS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H