Sepenggal lagu mengiringi aku dan teman-temanku, semasa kanak-kanak rerata berumur 10 tahun tinggal di desa, menabuh kentong berkeliling sepanjang jalan desa. Kenangan setiap masuk bulan Agustus ini selalu mengingatkan di tahun 1970-1975 saat menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus, saat itu selalu dirayakan dengan meriah sederhana dan menghidupkan kembali semangat kemerdekaan, dengan membuat kentongan dan obor yang melibatkan semua lapisan masyarakat desa.
Saat itu hidup didesa yang masih asri dengan kerimbunan dedaunan pohon besar, rumah masih jarang. listrik hanya ada di dalam kota dan dipinggiranya, listrik 110 V. hanya jalan-jalan tertentu yang ada lampunya dan didesaku belum ada listrik. lampu penerangannya memakai teplok, dan bagi yang mampu rumahnya memakai lampu Petromak yang menyala dari jam enam sampai jam delapan malam.
Didesaku saat itu, bila memasuki bulan Agustus musimnya kemarau, dan selepas Magrib sepi hanya satu dua orang lewat jalan raya. Tapi pas memasuki bulan Agustus mulai tanggal 1 – 5 Agustusmulailah aktifitas masyarakat desa dan anak-anak dimulai, awalnya memasang umbul-umbul, bendera kecil, merapikan tanaman teh-tehan, mengecat ulang pagar-pagar disepanjang jalan desa, pemasangan lampu ting minyak tanah dengan sumbu kecil / obor disepanjang jalan desa, dikerjakan bergotong royong, dan bila orang tuanya punya anak tanggung masih SD biasanya akan dibuatkan kentongan. Dan malam harinya melihat ting/obor sepanjang desa menyala, indahnya alami dan ini mulai dinyalakan setiap sore sampai malam hari dari tanggal 5 s.d 25 Agustus.
.
.
Dan memulai kentong dibunyikan tanggal 8/10 Agustus sore harinya, empat/enam anak yang memulai membunyikan kentong, sambil keliling di desa, besoknya akan bertambah tiga atau lima anak, terus seperti akhirnya beberapa hari kemudian bisa mencapai lima belas anak yang kumpul dan biasanya dimulai sekitar jam empat sore setelah banyak anak-anak yang ikut dari pihak aparat desa akan mengawal yaitu Hansip desa yang mengikuti, menambah semangat juang berkeliling desa menabuh kentong tanpa di komando dan penontonya orang kampung sendiri, dan ini akan berlangsung sampai tanggal 17 Agustus, lagunya hanya satu dan diulang-ulang disamping lagu favorit anak-anak yaitu Halo-Halo Bandung dan lagu 17 Agustus,
TENGKU BALIOO RAKYATMU WIS MERDEKAAA….
Malam malam 17 Agustus inilah yang paling ditunggu-tunggu anak dan orang kampung. Malam itu akan diadakan pawai keliling desa yang diikuti oleh hampir semua warga desa yang terumatama pemuda-pemudinya, dengan membawa obor dan memainkan atraksi obor.
Dimulai kumpul selepas sholat Magrib di perempatan Desa disitu kentong sudah dibunyikan rame, pemuda-pemuda mulai berdatangan dan ada yang memakai baju monyet, tentara belanda, ada yang pakai egrang, setelah kumpul semua Pak Hansip mulai mengatur barisan, didepan sendiri mba-mba yang membawa obor diikuti barisan kentongan dan terakhir pemuda-pemuda yang memainkan obor ada diputar, di sembur apinya ke udara. dan yang melepas barisan Pak Lurah, pertama mengheningan cipta berdoa untuk para Pahlawan yang sudah gugur, kedua: menyanyikan lagu Indonesia Raya setelah itu Pak Lurah akan beridiri didepan barisan paling depan tidak memakai bendera star tapi teriakan Merdeka diikuti oleh seluruh yang hadirdan aplaus / keprok tangan.
Barisan paling depan bergerak berjalan diikuti barisan barisan penambuh kentong diikuti teriakan “Tengku balio rakyatmu wis merdekaaa…….” menggema sepanjang jalan diselingi lagu 17 Agustus dan Halo-halo Bandung. Penonton sepanjang jalan desa selalu aplaus meriah, satu putaran keliling desa selesai, kembali ke perempatan jalan disana sudah tertata meja kecil diatasnya tersedia aneka jajanan dan ceret-ceret air teh berderet-deret, semuanya gratis. sungguh luar biasa indahnya kebersamaan waktu itu dan rasa gotong royong masih tinggi.
Besoknya tanggal 18 Agustus, aku dan teman-temanku pergi ke kota naik sepeda melihat pawai drumband, instansi, tentara, polisi, pelajar, brimob, hansip ada yang memakai baju monyet ada tentara belanda2an, ada kuda lumping dan menonton sampai selesa, dan hari berikutnya tanggal 19 Agustus ke kota lagi untuk melihat pawai kendaraan hias dari berbagai instansi, polisi, dan tentara, polisi dan perusahaan swasta, masing-masing berlomba membuat kendaraan hias seindah mungkin, dan pasti yang indah dan unik dapat aplaus dari penonton yang di pinggir jalan.
Itulah kenangan masa kurang lebih tiga puluh enam tahun yang lalu, yang telah hilang terkikis jaman. saya coba tulis kembali mumpung ingatan masih segar untuk berbagi dan tidak ada dokumentasi foto waktu itu belum ada yang punya kamera. Mungkin kompasianer lain ada yang masih ingat dengan suasana waktu tahun 70 – 75 an yang terlibat memeriahkan 17 Agustus di kampung?.
.
salam
Keterangan
Tengku : ?
Balio : pulang
Wis : sudah
.
Sumber gambar disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H