Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Bapakku Banci, Sayang

14 Februari 2012   04:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolaborasi : Ismaharani Lubis dan Singgih Swasono (No. 95)

Mul memandang keluar jendela rumah sakit . Ada langit penuh bintang. Cerah sekali malam ini, kontras dengan suasana hatinya yang kelu. Sudah seminggu ia berjaga disini. Hidungnya sudah mulai akrab dengan aroma antiseptik dan obat-obatan yang menyengat. Telinganya sudah biasa mendengar raungan sirene ambulan yang datang dan pergi silih berganti, seakan tak pernah berhenti. Bapak sakit. Kali ini tak main-main. Stroke sudah memecah pembuluh darah di otaknya, membuat Bapak tergeletak tak sadarkan diri, bapak koma. Dokter menyarankan agar bapak di operasi, tapi tak juga menjamin kemungkinan untuk sembuh. Hanya itu jalan yang bisa ditempuh, agar bapak setidaknya terlepas dari kondisi koma.

Dihirupnya udara malam yang bercampur aneka aroma obat. Mul tercenung. Dipandangnya wajah Bapak yang kaku tanpa ekspresi. Selang infus dan oksigen seakan berlomba merasuki rongga hidung Bapak. Tak sanggup Mul berlama-lama memandang Bapak. Ada perih tanpa luka yang menggoret hatinya. Ingatannya tumpah, pada masa kecil saat bersama bapak.

Bapak sosok yang baik hati. Seorang bapak yang lebih cenderung pada sifat keibuan. Bapak memang begitu. Suaranya tak menggelegar saat marah. Suara bapak halus. Bapak juga tak punya kumis yang sangar. Kulitnya putih bersih, tanpa bulu kasar sebagaiman laki-laki dewasa pada umumnya. Perawakannya sedang, bahkan cenderung langsing mirip wanita. Saat berjalan bapak terlihat sedikit gemulai. Bapak memang begitu.

Dulu, Mul sering mendengar ejekan teman-temannya. Bapak setiap hari mengantar jemput Mul ke sekolah dengan berjalan kaki. Jika cuaca panas, bapak selalu memakai payung yang selalu berada dalam tas sandangnya yang lecek. “Mul, bapak mu banci ya?”  Mul hanya diam.

Awal mendengar ejekan itu Mul menangis. Lalu ia bertanya pada bapak, benarkah ucapan teman-temannya. Bapak memeluk Mul, membelai kepalanya dengan kasih. Lalu bapak menjawab, “Kamu liat bapak kamu sebagai apa Mul? Sebagai banci atau sebagai bapak? Sudah nak, jangan hiraukan omongan teman-teman mu. Buat bapak, kamu adalah bintang. Kamu matahari. Kamu surga yang diberikan Tuhan sama bapak.” Lalu Mul tersenyum, memeluk bapak dengan erat. Sejak itu tak lagi Mul perduli dengan segala ejekan dan hinaan.

Mul hanya berdua bapak. Ibunya wafat saat melahirkan Mul. Pendarahaan, begitu cerita bapak. Keadaan ekonomi mereka yang sangat jauh dari kategori sederhana membuat bapak tak mampu membawa ibu ke rumah sakit saat itu.

Cerita tetangga, bapak menikahi Ibu karena kasihan. Ibu perempuan malam yang suatu hari ketemu bapak dalam kondisi babak belur dan hamil. Mul bukan anak bapak. Tapi lagi-lagi Mul tak perduli. Karena baginya, bapak adalah buminya, ayah sekaligus ibu. Bapak pintar melakukan pekerjaan wanita. Meski Sebelum berangkat kerja bapak selalu memakai bedak dan melukis alisnya, tapi bapak juga ahli mengerjakan pekerjaan lelaki sejati. Jika ada yang mengusik mereka, bapak tak segan-segan menantang pengusik itu. Mul juga tak banyak bertanya saat bapak terkadang memakai lipstick. Biar saja, Mul toh tidak merasa terganggu. Bagi Mul, bapak adalah segalanya. Karena bapak tak pernah meninggalkannya. Walaupun Mul tahu bahwa bapak sangat ingin pergi ketika teman-teman ‘seperti’ bapak mengajaknya untuk keluar dimalam hari. Bapak hanya menggeleng, dan memeluk Mul dengan kasih.

Mul menyirup kopi malamnya yang sudah dingin. Mul Tak merokok, karena bapak melarangnya dengan bijak. Bapak Cuma bilang begini saat Mul ketahuan bapak mencoba rokok. Ketika itu Mul sudah kelas 2 SMP. “Mul, bapak tak melarang kamu merokok. Cuma apa tidak sayang, uang yang dicari dengan susah payah kok malah di bakar. Bisa buat sekolah mu Mul kalau dikumpulin. Katanya kamu mau sekolah tinggi. Biar bisa merubah nasib kita. Tapi semua terserah kamu. Kalau kamu memang ingin merokok, nanti bapak yang belikan, biar bapak cari kerja sampingan lain lagi saja buat beli rokokmu.”

Dan bapak menyampaikan semua ucapannya dengan tutur lembut menyejukkan. Mul menangis, memeluk bapak sembari minta maaf. Sejak itu Mul tak ingin merokok lagi. Mul ingin sekolah. Dan bapak menepati janjinya. Menyekolahkan Mul yang tak merokok.

Bapak seorang pegawai honor di rumah sakit ini. Dulu, saat pulang kerja, bapak selalu membawa roti pasien yang berlebih dari dapur rumah sakit. Dirumah roti-roti itu diolah bapak lagi, agar Mul tak bosan karena tiap pagi mereka sarapan roti itu. Bosan di bakar, biasanya bapak mengukus roti yang dicampur santan dan gula. Jadilah kue talam ala bapak. Apapun yang dimasak bapak, Mul selalu menyukainya. Bapak memang begitu, selalu banyak akal.

…………

Panggilanya singkat saja Mul, tiga huruf. Nama lengkap Mulianto, harapan hidupnya mulia. Empat tahun silam, usaha kue talam sudah punya tiga cabang, resep dari Bapak semata wayang.

Mul tersentak kaget nada panggil dari Hp berdering. Terpapang di monitor nama tidak asing. Terkesiap, hampir satu minggu minggu lamanya melupakan nama itu.

“Mas, dimana sekarang. Kenapa tidak pernah kirim kabar?”

“Dik maafkan, Mul sampai lupa tidak memberitahu adik. Mul sekarang di Rumah Sakit hampir satu minggu ini. menunggui Bapak sakit kena stroke”

“Mas Mul jahat, Bapak sakit tidak memberitahu aku!” ada nada tidak suka di seberang sana. Mul hanya terdiam. Rasa sesal tidak memberi kabar, menggelayut di hatinya.

“Maaf Dik, selintas kepikiran tapi lupa. Mul banyak pikiran, kalut melihat keadaan Bapak tidak berdaya seperti ini”

“di rumah sakit apa. kamar nomer berapa?”

“Rumah Sakit Margono, ruang Cempaka nomer tiga”

“Mas, aku mau kesana sekarang”

“Dik…” bersamaan itu sambungan Hp putus.

Mul termenung, satu minggu sebelumnya sebenarnya ada keinginan Mul akan memperkenalkan calon istrinya pada Bapak. Manusia hanya bisa berencana Tuhan yang menentukan akhirnya.

………..

Siang itu, diluar panas terik. Terdengar ketokan pintu, Mul melangkah gontai membuka pintu.

“Masuk Dik, sama siapa?”

“Makasih, sendirian”

“Begitulah Dik keadaan Bapak”

“Sabar saja Mas, mudah-mudah ada mukjizat dariNya” sambil memijat kaki Bapaknya.

“Maaf, Mul belum sempat memperkenalkan Adik, keburu Bapak kena Stroke dulu” Mul berhenti sambil menarik nafas dalam-dalam, sambungnya “Kesini Dik, aku mau memperkenalkan adik sama Bapak” sambil mendekatkan ke telinga Bapaknya, Mul Berbisik “Pak, ini Dik Ita calon istri Mul. Mohon…” seketika Mul kaget, lengannya di cubit cukup keras. Setelah itu Mul, menceritakan semuanya.

“Mas, jangan… ngawur Bapak masih sakit, cari solusi yang terbaik gimana?”

“Dik Ita, Mul sudah ambil keputusan, besok Bapak akan di operasi” Spontan  Mul ambil putusan.

………

Tiga hari setelah melalui masa kritis. Mul, tercenung melihat Dik Ita sangat telaten merawat Bapaknya. Tanpa mengenal waktu. cinta kasih sayang Mul semakin dalam. Hari keempat, Mul dikagetkan dengan gerakan tangan dan mata Bapaknya. Sementara hasil pemeriksaan dokter, ada kemajuan berarti. Hari ke delapan, diperkenankan pulang rawat jalan. Mul sangat bersyukur, pihak rumah sakit yang membebaskan semua biaya berobat.

Hari ke sebelas, malam itu hujan sangat deras. ketika Mul menyuapi di kagetkan gerakan mulut Bapaknya, tidak begitu jelas. Tapi Bagi Mul itu adalah mukjizat. Malam itu juga SMS ke dik Ita atas perkembangan itu. Kesesokan harinya, dik Ita sudah di ambang pitu rumahnya.

“Bapak ini saya Ita, teman Mas Mul” sapanya, tangan mungilnya memijat lengan lemah Bapak. Terlihat, wajah Bapak cerah, matanya melirik. terlihat lelehan air mata dan senyum. Dengan isyarat Bapak menghendaki Mul mendekat kemulutnya. Dengan terbata-bata berkata“Mul, kamu… sayang dan cinta…” sepintas melirik ke Dik Ita. Mul mengangguk, sambunganya “Buka lemari, lihat ditumpukan baju paling bawah. bawa kesini” perintahnya, terlihat Mul melangkah membuka lemari.

“Ini bungkusan apa Pak” tanya Mul sambil menyodorkan bungkusan. Setelah diterima, dengan terbata-bata “Mul, ini tabunganku khusus buat kamu, terima yaa…” sambil menyodorkan kembali bungkusan itu ke Mul, sambungannya “Kamu undang keluarganya, kesini besok sore” matanya sambil melirik ke arah Dik Ita, terlihat Dik Ita tersipu malu. “Bapak..” belum selesai Mul bicara, Bapak memotong “Mul, kebahagiaan Bapak adalah melihat anaknya bisa mentas dan berkeluarga, jangan banyak tanya lagi ya Mul. Lakukan satu keinginan Bapak” hening seketika, Mul hanya mengangguk.

……..

Siang jelang sore, Mul menyeka tubuh Bapaknya. Setelah selesai, diangkat ke ruang tamu. menunggu kedatangan keluarga Dik Ita. Sungguh Mul sangat bersyukur, pihak keluarga Dik Ita bisa memaklumi keadaanya.

Saat pertemuan Bapak dengan terbata-bata berkata singkat melamar Dik Ita. Dan  meminta minggu depan dilakukan Ijab khobul di rumahnya.Seketika ruang tamu, hening sesaat. Lagi-lagi diluar dugaan pihak keluarga Dik Ita, menyetujui.

………….

Berita itu menyebar dari mulut ke mulut, begitu cepatnya. Satu minggu sebelum pelaksanaan, tetangga dan teman-teman Mul berdatangan tanpa basa basi dan sedikit memaksa mereka semua menyingsingkan baju, bahu membahu membantu persiapan ijab kobulnya dan semua biaya ditanggung oleh panitia kecil dibentuk dadakan dan di ketuai oleh pak RT langsung.

………….

Selepas Subuh di hari H. Mul tersentak kaget, tanggal 14 Februari, hari Valentine. rumah Mul sudah selesai di dandani penuh warna warni pink. Tamu-tamu sudah duduk di kursi masing-masing. Bapak lagi-lagi hanya bisa berbaring di ruang tengah. Di sebelah samping kanan meja dan kursi panjang, disitu Pak Penghulu dan perangkat Desa mengelilingi meja panjang. sesaat kemudian, Mul memakai jas hitam masuk dan duduk. Tepat pukul sepuluh siang, pihak perempuan datang. Dik Ita memakai batik kebaya dengan sanggul sederhana, sesederhana wajah cantiknya.

……….

Di hari kasih sayang, Mul dan Ita memadu janji sehidup semati. Dengan penuh kasih sayang, mereka berdua merawat Bapaknya. Satu bulan, kondisinya dinyatakan dokter cukup sehat. Kata dokter, itu semua berkat ketulusan dan kasih sayang mereka berdualah yang menyembuhkan. Keyakinan Mul sangat kuat bahwa kasih sayang sepanjang masa adalah mukjizat hidup dan kehidupan.

TAMAT.

Sumber gambar disini

Untuk membaca karya peserta lainnya, silahkan menuju akun Cinta Fiksi

Bergabunglah dan berinteraksi bersama kami di Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun