Mohon tunggu...
Sasukha.s
Sasukha.s Mohon Tunggu... -

ex karyawan swasta, suka baca apa saja dan sedikit tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Si BuYa Emang Kuya!

17 Juni 2011   03:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Letho memang cuma preman pasar Cikini, tapi dilingkungannya terkenal sebagai penjaga lingkungan yang angker dan disegani.  Berbagai "masalah" pasar selalu dapat ditanganinya dengan mulus, entah itu keributan antar pedagang atau dengan pembeli, copet, bahkan masalah-masalah dengan "kantib" yang resmi.  Meskipun dipanggil Parto di asalnya di desa Nguter - Solo, lelaki ini menjadi tersohor sebagai "Letho centeng pasar Cikini".  Yang namanya rejeki memang tidak bisa kebeli, meskipun tidak punya gaji resmi kehidupan rumah tangganya cukup terpenuhi.  Bertempat tinggal di gang sempit di belakang pasar, keseharian keluarga Letho boleh dikata sedikit diatas rata-rata tetangganya.

Kehidupan keras di pasar, membuat Letho telat kawin.  Di umur menjelang 40 tahun ini hanya punya anak lelaki semata wayang umur 5 tahun.  Dia namai anaknya Budi Mulya, entah apa arti sebuah nama, tapi mungkin Letho mengharap anaknya berbudi mulia seperti layak anggapan terhadap dirinya.  Biarpun dalam kesehariannya selama ini Letho mengandalkan ototnya, ia punya "wibawa" untuk menyelesaikan pekerjaannya hanya dengan kata-kata dan berbuat adil untuk siapa saja.

Budi Mulya oleh emaknya di panggil Si Buya, bukan main "nakal"-nya di banding anak-anak seumurnya.  "habis kelewat dimanja bapaknya, sih", begitu kata si Emak.  Pantaslah, di rumah Si Buya memang menjadi labuhan hati Letho yang sehari-hari bergelut dengan keras dalam menjaga wibawa dirinya.  Perilaku memanjakan anaknya ini bergulir begitu saja tanpa disadarinya, apa mau dikata begitulah adanya.

Pagi ini seperti biasa - menjelang jam 10 Letho dengan gontai pulang kerumahnya setelah sejak dini hari menjelang subuh "bertugas" di pasar Cikini.  Memang menjadi kebiasaannya untuk istirahat dulu dirumah sebelum bertugas lagi nanti antara jam 3 sore sampai menjelang waktu Isha.  Belum 10 meter dari rumahnya sudah terdengar jerit tangis Si Buya kesayangannya ditengah teriakan emaknya.  Bergegas Letho mempercepat langkah kakinya.

"Maaak, di apain Si Buya!", begitu gelegar suaranya begitu seampai di pintu rumah. "Anak lu nih, keterlaluan nggak bisa diurus - suruh sarapan aja susah bukan min!" si Emak balas teriak, " Dari tadi nangis minta permeeen melulu... Kalau sakit perut gimana?". "Di kasih saja kenape, bikin ribut aje.  Lu tahu gue suntuk nih pulang kerja!" Letho balas menghardik bininya.

Melihat ayahnya Si Buya lari kepelukan Letho.  Dengan mimik dan tangis manja mulut ceriwisnya merengek mengadu ke ayahnya disertai derai air mata. " Hii..hiiiek. Uya minta pelmen ... Emak nakaal...", begitu rajuknya. Tanpa banyak kata Letho memberikan uang dua ribuan ke Si Buya.  "Nih, beli sono.  Jangan nakal dan nangis lagi ya, babe mau tidur dulu nih."

Begitu dapat duit, Buya lari ke warung depan rumahnya membeli permen kesukaannya.  Dengan wajah riang penuh kemenangan, dalam sekejab permen masuk ke mulutnya diemut dan diisapnya dalam-dalam.  Di depan emaknya Buya menjulurkan lidahnya yang berwarna ungu menyala.  "Huh ! Si Buya emang kuya!", begitu gerutu Emak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun