Seorang laki-laki di Madinah mencaci Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Gubernur Madinah-Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm-mendengarnya dan hampir mengeksekusi hukuman mati kepadanya. Akan tetapi ia menahan diri dan meminta pendapat Umar.
Sang Khalifah pun menjawab:
"Kalau kamu mengeksekusinya, maka aku pun akan mengeksekusimu. Seseorang tidak boleh dieksekusi hanya karena dia mencaci orang lain, kecuali dia mencaci Nabi SAW. Maka jauhkanlah keburukan laki-laki itu dari kaum muslimin, ajaklah dia bertaubat setiap bulan, dan jika dia bertaubat, lepaskanlah dia."
Umar bin Abdul Aziz menegakkan dasar persamaan di antara dirinya dengan rakyatnya. Ia tidak merasa dirinya lebih mulia sehingga orang yang menghinanya akan dihukum lebih berat daripada penghina umat muslim lainnya. Umar hanya memerintahkan hukuman yang berat bagi penghina Nabi SAW. Sebaliknya, ia justru memerintahkan para gubernur untuk memberi hukuman yang wajar dan mengajak para penghina untuk bertaubat.
Umar bin Abdul Aziz telah memberikan contoh yang baik bagi kita semua. Bahwa jika hinaan yang kita terima itu benar, maka seharusnya kita mengintrospeksi diri. Sebaliknya-jika hinaan itu tidak benar-maka kita tak perlu merasa terhina dan rendah di hadapan manusia. Hanya di hadapan Allah-lah kita patut merasa hina dan rendah. Hanya Allah SWT-lah yang meninggikan derajat serta menutupi aib-aib kita.Â
Penghinaan memang perbuatan yang dilarang dalam islam, namun bukan berarti pelaku penghinaan kepada pemimpin menerima hukuman yang lebih berat ketimbang pelaku penghinaan kepada rakyat biasa. Karena pada hakikatnya semua manusia berhak diperlakukan sama di mata hukum. Lantas bagaimana hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap Presiden di Indonesia?
Sumber: Sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil Hakam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI