Kabar baik datang dari bilangan Jakarta Selatan. Dengan formasi pimpinan yang baru, KPK dengan lantang menyebut nama petinggi partai oposisi sebagai salah satu tersangka kasus suap yang diduga kuat dilakukan oleh Harun Masiku kepada mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Butuh penantian bertahun-tahun sejak kasus ini mulai bergulir sejak tahun 2020 untuk menilai keseriusan KPK dalam menangani kasus ini. Lantas, apakah penetapan tersangka baru ini menandai habisnya keberuntungan Masiku dalam pelariannya?
Publik berharap, KPK bisa menyelesaikan kasus ini sesegera mungkin. Publik jemu dengan suguhan perseteruan penguasa yang semakin hambar dan mudah ditebak sebab dan kesudahannya. Akan tetapi, publik pun berharap pada sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin menjadi landasan dari semua penanganan kasus korupsi pejabat publik di tanah air.
Tak bisa dipungkiri, nuansa politis sangat kental dalam episode terbaru kisah pelarian Masiku. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas KPK di era kepemimpinan sebelumnya, pengejaran Masiku bisa saja berakhir lebih cepat. Sayangnya, kecepatan bukan jadi keunggulan KPK kala itu. Patut diduga, ada pihak-pihak yang tak ingin KPK melaju.
Setelah drama pelemahan KPK di tahun 2019, performa lembaga penegak hukum ini pun menjadi 'agak lain'. Beberapa kasus korupsi yang sempat naik ke permukaan, seolah tenggelam secara teratur.
Masih segar dalam ingatan publik, bagaimana seorang pakar hukum yang dihadiahi jabatan sebagai Wakil Menteri sempat menyandang status tersangka akibat dugaan kasus suap. KPK yang saat itu tengah dipimpin oleh Pelaksana Tugas setelah Ketua definitifnya dinon-aktifkan cukup berani unjuk gigi. Sayangnya, barisan gigi KPK hampir separuh tanggal. Penetapan status tersangka itupun takluk di muka Hakim pra-peradilan.
Kelanjutan penyidikan sang Wakil Menteri tak kunjung ditayangkan di media. Malahan, Presiden Prabowo Subianto memberinya kesempatan kedua di posisi yang sama setelah ia membantu sang Presiden menang dalam gugatan pemilihan umum. Karakter Presiden Indonesia ke delapan ini memang pemaaf. Di bawah kepemimpinanya, koruptor punya peluang untuk dimaafkan jika mengembalikan hasil kejahatannya.
Bisa jadi, Masiku dan petinggi Partai Oposisi memiliki peluang yang sama. Bisa jadi, sang Wakil Menteri adalah bukti konsistensi ucapan Bapak Presiden. Bisa jadi‐dengan cara seperti ini- Indonesia bisa lebih bersih dari korupsi. Semua pihak masih bebas menduga-duga hal tersebut, namun ada satu hal yang sudah dapat dipastikan keniscayaannya.
Satu hal tersebut adalah pupusnya harapan besar publik yang saya tuangkan di awal tulisan ini. Harapan yang bertaut pada sebuah adagium terkenal dalam hukum: 'Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae' yang artinya politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
Harapan yang mungkin harus dikoreksi dengan nilai yang telah berubah di kalangan elit politik dan mungkin akan berdampak pada munculnya adagium baru dalam hukum. Apapun adagium itu nantinya-setidaknya-harapan Indonesia bersih dari korupsi itu harus selalu ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H