Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peluang Perbankan Syariah Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

5 November 2024   10:05 Diperbarui: 5 November 2024   10:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran Perbankan Dalam Pembiayaan Proyek Pemerintah

Berdasarkan data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) per 28 Oktober 2024, total belanja pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) instansi pemerintah pada tahun anggaran 2024 adalah sebesar Rp 1.159,7 triliun. Besarnya anggaran PBJP ini diperuntukan bagi kelompok pelaku usaha sebesar 73,8% dan bagi kelompok lainnya sebesar 26,2%. Pada kelompok pelaku usaha, 58% anggaran PBJP diperuntukan bagi Usaha Mikro Kecil dan Koperasi. Pada kelompok lainnya, 26,2% anggaran PBJP diperuntukan bagi paket-paket PBJP yang dilaksanakan secara swakelola oleh instansi pemerintah, organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat (LKPP, 2024).

Peran perbankan sangat dibutuhkan dalam mendukung PBJP. Perbankan memainkan peran kunci dalam menunjang perekonomian Indonesia. Melalui penyaluran kredit, perbankan membantu meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, perbankan memainkan peran penting dalam membantu membiayai usaha-usaha kecil dan menengah, yang merupakan sumber daya ekonomi penting bagi Indonesia. 

Di sisi lain, perbankan juga memainkan peran penting dalam membantu pemerintah membiayai proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan membeli surat berharga negara dan membantu membiayai pemerintah melalui pinjaman. Ini membantu pemerintah membiayai proyek-proyek infrastruktur dan meningkatkan pembangunan ekonomi.

Sayangnya, besarnya anggaran PBJP dan peran serta perbankan untuk membantu pelaku usaha dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha belum berdampak siginfikan terhadap perekonomian. Beberapa pengamat perekonomian berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan karena Indonesia masih sangat bergantung pada perbankan konvensional.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ditambah dengan kondisi perekonomian yang tak kunjung meningkat, Tim Perbankan MUI menggagas lahirnya Bank Syariah pertama di Indonesia pada tahun 1991, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Kesuksesan Bank Muamalat Indonesia melewati krisis ekonomi tahun 1998 dan pengakuan Pemerintah melalui peraturan perundangan selaanjutnya menginspirasi tumbuh pesatnya perbankan syariah di Indonesia. Eksistensi perbankan syariah, diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Selain itu, besarnya anggaran pemerintah dalam PBJP seharusnya dapat didukung secara maksimal dengan pembiayaan syariah. 

Kontribusi Perbankan Syariah Dalam Perekonomian

Sebagai bagian dari perbankan nasional, perbankan syariah sangat potensial untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pemerintah. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan dugaan tersebut.

Lehnert (2019) meneliti kinerja perbankan syariah terhadap pertumbuhan ekonomi di 32 negara maju dan berkembang. Temuan menegaskan bahwa, sementara bank syariah dianggap kecil relatif terhadap ukuran total sektor keuangan, bank syariah berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian lain, Chazi et al (2020) menilai pertumbuhan perbankan syariah untuk melihat apakah berdampak pada pertumbuhan industri. Studi tersebut menunjukkan bahwa bank syariah memiliki dampak positif pada pertumbuhan sektor industri, yang pada gilirannya merangsang pertumbuhan ekonomi. 

Berdasarkan data dari statistik perbankan syariah yang dirilis oleh OJK, kontribusi total pembiayaan perbankan syariah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia mengalami kenaikan pada setiap tahun dari tahun 2011-2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi terbesar pembiayaan syariah masih didominasi oleh sektor industri pengolahan nonmigas yang selalu selalu menjadi sektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDB. Industri pengolahan misalnya, selama periode 2015-2019 menyumbang pertumbuhan di kisaran 20 persen setiap tahunnya. Pada 2024, rasio kinerja pembiayaan kepada pihak ketiga non bank pada perbankan syariah mencapai 82,5%, meningkat tajam setelah sebelumnya di tahun 2020 mencapai 76,36%. Pada Agustus 2024, pangsa pasar perbankan syariah meningkat menjadi 7,33 persen, dengan pertumbuhan aset mencapai 10,37 persen atau sebesar Rp902,39 triliun. 

Pandangan Islam Tentang Perbankan Konvensional

Menurut sistem ekonomi konvensional, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Klaim tersebut telah menjadi keyakinan kuat para kaum kapitalis. Tetapi, keyakinan-keyakinan tersebut dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum:39.  

"Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah"(QS.ar-Rum: 39). 

Ayat ini menyampaikan pesan  moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan al-Qur'an ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan kaum kapitalis. Mereka menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau dari perspektif makro.

Marwini (2017) mencatat dampak-dampak negatif sistem ekonomi ribawi yang sangat membahayakan perekonomian.

Pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di dunia sepanjang sejarah. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan fatalitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai mata uang di sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga real yang rendah ke negara yang tingkat bunga real yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga real relatif tinggi.

Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun  1965 sampai hari ini.

Ketiga, suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka   investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.

Keempat, teori ekonomi makro juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi ceteris paribus.

Kelima, sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debttrap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.  

Kebijakan PBJP Yang Berpihak Pada Keuangan Syariah

K.H. Ma'ruf Amin selaku Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menegaskan, bahwa ekonomi syariah telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam lima tahun terakhir, baik di tingkat nasional maupun internasional. Menurutnya, pencapaian ini membuktikan ekonomi syariah bukan hanya alternatif, melainkan arus baru yang dapat berjalan beriringan dengan ekonomi konvensional dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional. 

Selama ini, APBN telah secara aktif mendorong pengembangan ekonomi syariah melalui alokasi anggaran di berbagai sektor. Antara lain, perluasan akses pembiayaan bagi UMKM melalui KUR Syariah dan UMi Syariah yang realisasinya mencapai Rp16,7 triliun dan Rp4,31 triliun per September 2024. 

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, "Kami juga di dalam mengelola keuangan negara terus meningkatkan diversifikasi dan instrumen keuangan syariah, termasuk penerbitan surat berharga syariah negara atau sukuk negara yang secara akumulatif mencapai Rp2.808,66 triliun. Sehingga Indonesia dikenal di dunia sebagai salah satu negara yang telah berhasil menerbitkan sukuk green pertama sebagai emerging market," papar Sri Mulyani. 

"Secara akumulatif, outstanding dari sukuk negara mencapai Rp1.565,72 triliun dan instrumen sukuk telah menjadi katalisator utama dalam mendorong dan memperdalam sektor keuangan syariah, juga untuk mendukung pembiayaan infrastruktur berbasis syariah, serta memperkuat ekosistem dana sosial syariah," tuturnya.

Semoga, kebijakan yang berpihak kepada keuangan syariah semacam ini juga diimplementasikan di tataran operasional PBJP. Misalkan, mengutamakan penggunaan bank syariah dalam pembayaran hasil PBJP dan penggunaan jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan dan jaminan pembayaran dari lembaga keuangan/perbankan syariah kepada pelaku usaha/pelaksana swakelola dalam PBJP. Dengan demikian, besarnya anggaran PBJP dapat berkontribusi maksimal terhadap pertumbuhan keuangan syariah di Indonesia dan pada akhirnya akan membawa maslahat yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun