Setelah OTT KPK terhadap oknum Pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan terkait korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) menyita perhatian publik, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) merespon dengan menerbitkan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Perencanaan dan Persiapan Pengadaan.
Salah satu yang tertuang dalam surat edaran tersebut adalah himbauan bahwa pengadaan harus berdasarkan kebutuhan yang didukung dengan analisis kebutuhan. Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah
(K/L/PD) dilarang melakukan pengadaan yang tidak dibutuhkan dan/atau tidak mendukung rencana strategis K/L/PD. Analisis atau identifikasi kebutuhan dimaksud dilakukan dalam tahap perencanaan pengadaan.
Dalam PBJP setiap Barang/Jasa yang akan dibeli harus melalui tahapan perencanaan pengadaan. Aktor yang bertanggung jawab dalam tahapan ini adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). KPA, biasanya dijabat secara ex-officio oleh Kepala Satuan Kerja (Kepala Satker), sementara PPK-biasanya-dijabat oleh Kepala Satker itu sendiri (KPA merangkap PPK) atau didelegasikan kepada bawahannya. Secara hirarkis, KPA menempati posisi yang lebih tinggi daripada PPK.Â
PPK bertugas menyusun perencanaan pengadaan, sementara KPA bertugas menetapkan dan mengumumkan hasil perencanaan pengadaan tersebut kepada publik. Tata cara penyusunan sampai dengan pengumuman hasil perencanaan pengadaan diatur di dalam Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021.
Yang menarik dari perencanaan pengadaan adalah bahwa idealnya proses ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi satu rangkaian dengan proses perencanaan anggaran. Sebab, tidak mungkin merencanakan pembelian barang/jasa tanpa ketersediaan anggaran. Yang lebih menarik lagi adalah proses perencanaan anggaran digawangi oleh Kementerian Keuangan/Perangkat Daerah yang mengurus keuangan daerah dengan kelembagaannya tersendiri.
Baik LKPP maupun Kementerian Keuangan/Perangkat Daerah dimaksud, keduanya sudah saling mention bahwa proses perencanaan pengadaan dan perencanaan anggaran harus dilakukan secara saling melengkapi. Akan tetapi, pada praktiknya masih banyak yang melakukannya secara parsial.
Kondisi ini yang kemudian mendorong LKPP menegaskan kembali di dalam surat edarannya agar analisis kebutuhan harus dilakukan dalam tahap perencanaan anggaran. Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021 pun sudah mengatur tentang hal ini. Di dalamnya disebutkan, untuk meningkatkan kualitas perencanaan pengadaan, KPA perlu melakukan identifikasi kebutuhan dalam perencanaan anggaran.
Dalam peraturannya, LKPP menempatkan risiko identifikasi kebutuhan kepada KPA dan proses perencanaan anggaran. Sayangnya, implementasi identifikasi kebutuhan dalam perencanaan anggaran tidak ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaan yang detil. Ditambah lagi, proses penelaahan anggaran oleh APIP yang seharusnya dapat menyaring usulan anggaran 'siluman' terkadang justru kebobolan. Akibatnya, banyak anggaran 'titipan' yang konon tidak dibutuhkan atau bahkan tidak sejalan dengan rencana strategis K/L/PD muncul dalam dokumen penganggaran.
Tanpa dibekali petunjuk pelaksanaan dan penerapan perencanaan pengadaan dan perencanaan anggaran yang sinkron, pemahaman KPA di setiap instansi pemerintah menjadi tidak standar. Bagi yang paham, akan menyusun petunjuk pelaksanaan internal untuk menjembatani kekosongan pedoman identifikasi kebutuhan dan memperketat pengendalian internal. Sedangkan bagi yang merasa cukup dengan regulasi ada, maka sebaliknya. Ketiadaan upaya peningkatan kualitas perencanaan hanya melahirkan bom waktu yang akan menghadiahi PBJP dengan cerita kegagalan.Â
Kesabaran LKPP untuk membenahi kebijakan PBJP belum habis. Surat edaran tersebut adalah buktinya. Alih-alih menyasar para pelaku pengadaan untuk mencegah terjadinya korupsi dalam PBJP melalui penyempurnaan proses perencanaan dan persiapan pengadaan, LKPP juga menyentil stakeholder-nya yang lain.Â