Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memburu Definisi Berkeadilan dan Berkelanjutan dalam Disertasi Bahlil

19 Oktober 2024   23:09 Diperbarui: 20 Oktober 2024   05:20 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: YouTube Universitas Indonesia

Belum habis 'keceriaan' warganet ihwal penobatan gelar Doctor Honoris Causa yang diterima oleh Raffi Ahmad, media massa kembali diramaikan oleh kabar baik tentang kesuksesan Menteri ESDM-Bahlil Lahadalia atas kelulusannya dalam sidang terbuka Doktoral di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. 

Disertasi Bahlil bertajuk Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia. Sejenak, hasil penelitian ini seolah menjawab harapan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan hilirisasi nikel. Masyarakat yang dirugikan akibat prematur-nya kebijakan hilirisasi tanpa didahului analisis yang tepat.

Dalam sidang terbukanya, Bahlil mengakui bahwa program hilirisasi nikel adalah produk 'tiba saat tiba akal' Presiden Jokowi beserta para Menterinya. Di hadapan para pengujinya, Bahlil pun mengakui bahwa inisiatif hilirisasi nikel hanya bermodal nekat tanpa ada contoh sebelumnya. Aksi nekat itu dilakukan demi mewujudkan mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju karena sumber daya alamnya, dimana hilirisasi (nikel) diposisikan sebagai jalan pintas yang paling menjanjikan untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Adalah Prof. Dr. Arif Hidayat, S.P., M.Si. -salah satu penguji- yang turut mempertanyakan solusi atas kerusakan lingkungan yang terlanjur telah terjadi pada kawasan industri hilirisasi nikel, yaitu di kabupaten morowali dan halmahera tengah. Dalam jawabannya, Bahlil mengakui bahwa kerusakan lingkungan di Kabupaten Morowali memang terjadi atas ketidaksempurnaan dalam proses perencanaan. Hal itu disebabkan karena Morowali menjadi pilot project  program hilirisasi. Sementara itu, ia meng-klaim kerusakan lingkungan tidak terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah. Menurutnya, program hilirisasi nikel di Halmahera Tengah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena sudah belajar dari kesalahan di Morowali. Tapi itu menurut Bahlil. 

Protes bencana banjir dan longsor di halmahera. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indo
Protes bencana banjir dan longsor di halmahera. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indo

Fakta di lapangan justru menunjukan kondisi sebaliknya. Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah tak terbendung. Bukan hanya itu, aktivitas PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) juga menimbulkan deforestasi dan pencemaran laut. Dari analisis spasial Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan, sejak 2013-2023,  kawasan hutan di wilayah Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, maupun desa-desa sekitar di Weda Tengah hilang dan menyebabkan tekanan terhadap lingkungan makin besar. 

Penggusuran hutan dalam skala besar menyebabkan banjir dan ancaman longsor tak terelakkan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sejak Agustus 2020-17 Juni 2024, banjir dengan ketinggian minimal satu meter terjadi lebih dari 12 kali. Buntutnya, sumber air warga tercemar, rumah-rumah warga dan lahan pertanian terendam material lumpur, hingga mencemari pesisir dan perairan laut, serta menewaskan pekerja pada 13 September 2023. Banjir besar sejak 21 Agustus 2024 di lingkar tambang Teluk Weda, merendam tujuh desa, seperti, Desa Lukolamo, Woe Jarana, Woe Kobe, Kulo Jaya, Lelilef, Sagea, dan Trans Waleh. Banjir membuat akses menuju ketujuh desa putus total hingga terisolir.

Abubakar Yasin, Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah-seperti dikutip oleh Mongabay Indonesia, 17 September 2024-mengakui ada persoalan lingkungan muncul dari kehadiran investasi, salah satu paling terlihat adalah produksi sampah. Menurut Abubakar, investasi di Halmahera Tengah tidak bisa ditolak karena izin pemerintah pusat. Pemerintah daerah, katanya, hanya bisa menindaklanjuti keputusan itu dan mencoba terus mengawasi sesuai kewenangan. (Baca: Lingkungan Halmahera Tengah Terus Tergerus Industri Nikel)

Banjir di Weda Utara. Foto: Save Sagea
Banjir di Weda Utara. Foto: Save Sagea

Tidak jauh berbeda dengan jawabannya, isi disertasi Bahlil menganggap pencemaran yang terjadi di wilayah sentra hilirisasi nikel utamanya disebabkan oleh terbatasnya kapasitas pemerintah untuk melakukan pengawasan atas persetujuan lingkungan yang dikeluarkannya. Bahlil menyesalkan terjadinya kondisi ini dengan menyebut pemberlakukan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya sebagai akar permasalahan. Pasalnya, beban tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi lebih besar semenjak terbitnya UU Cipta Kerja, sedangkan Dinas Lingkungan Hidup di daerah terkait tidak diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun