Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menerima Soeharto Sebagai Pahlawan

29 September 2024   23:16 Diperbarui: 30 September 2024   05:01 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto/arahindonesia.files.wordpress.com

Suasana 'maaf-maafan' seperti ini sudah dirasakan juga oleh keluarga korban perisitwa '65 yang menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil. Salah satunya adalah keluarga Marsyo-mantan anggota tentara dari Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya di Jawa Timur yang bertugas di Palu. 

Marsyo bertugas di Palu sejak 1960 di bagian kesehatan. Ia dan keluarganya hidup dengan damai dan penuh kebahagiaan di asrama tentara. Seketika, kehidupan damai dan penuh kebahagiaannya itu berubah karena ia dituduh sebagai anggota PKI. Keluarganya diusir dari asrama, sementara Marsyo ditangkap dan langsung di penjara pada tahun 1970. Setelah kejadian itu, keluarga Marsyo kerap dikucilkan dan diabaikan karena stigma yang terlanjur melekat. 

Kisah lainnya dialami oleh anak dari Abdul Rahman Daeng Maselo-salah satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sulawesi Tengah-yang ditahan tanpa proses pengadilan. Selama ditahan, ayahnya masih sempat berkirim surat, namun sejak surat terakhirnya tanggal 3 April 1967,  mantan guru Sekolah Rakyat (SR) di Donggala yang juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Donggala itu hilang tanpa jejak. 

Kini, baik keluarga Marsyo atau Abdul Rahman Daeng Maselo telah memperoleh permohonan maaf dari pemerintah dan program pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mereka mengaku telah menerima bantuan berupa jaminan kesehatan Kartu Indonesia Sehat (KIS), prioritas dan santunan Rp3,3 juta yang diberikan per tiga bulan.

Akan tetapi-bagi keluarga Abdul Rahman-permohonan maaf dan bantuan itu belum cukup. Sebab, masih ada tanda tanya besar terkait nasib ayahnya yang hilang tanpa jejak. Menurutnya, para pihak yang bertanggung jawab harus berterus terang. Hal ini semata-mata agar generasi muda dapat menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga, bukan untuk mengobarkan dendam sejarah.

Menyandang Gelar Pahlawan Tanpa Kecaman

Keutuhan sejarah perjalanan bangsa ini sangat berpengaruh terhadap kualitas generasi yang akan datang. Generasi dengan sejarah yang direkayasa tidak bisa banyak belajar dari kesalahan para pendahulu. Akibatnya, mereka kurang punya sikap kehati-hatian untuk menghindari masalah dan hanya sedikit memiliki referensi 'jalan keluar' ketika menghadapi masalah. Yang lebih buruk lagi adalah, kemungkinan besar mereka akan mengulang rekayasa sejarah.

Selagi para saksi mata pada kejadian-kejadian di masa lalu itu masih ada, dan bukti-bukti sejarah masih bisa dikemukakan secara gamblang. Mari kita mulai menghargai jasa para pahlawan dengan mengungkap kebenaran. Bukan satu atau dua pahlawan saja, melainkan semua yang terlibat dalam memerdekakan bangsa ini.

Pahlawan nasional seperti Ir. Soekarno, Soeharto, dan yang lainnya-mereka juga manusia yang mungkin pernah berbuat kesalahan. Tetapi dibalik kesalahan-kesalahan itu, cukuplah jasa-jasa mereka menjadi penebus yang seimbang. Mereka yang merasa dirugikan dapat dengan mudah akan memaafkan. Asalkan ada permohonan maaf, pemulihan hak dan upaya pelurusan sejarah. Jika hal itu dilakukan-bukan tidak mungkin-penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada siapapun yang diyakini berhak untuk menerimanya, tidak akan menuai kecaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun