Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron memberikan penjelasan terkait dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi.Â
Dalam pernyataannya pada Kamis (14/9/2024), Ghufron menegaskan bahwa Kaesang tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan penerimaan gratifikasi. Ia melanjutkan bahwa kewajiban pelaporan gratifikasi hanya berlaku bagi penyelenggara negara, seperti bupati dan gubernur (baca: KPK Sebut Kaesang Ternyata Tidak Wajib Laporkan Penerimaan Gratifikasi)
Hukuman Bagi Kaesang
Tidak ada yang salah baik dari narasi pemberitaan atau pernyataan Wakil Ketua KPK - Nurul Ghufron terkait 'pelesir' Kaesang dan istrinya yang ramai diperbincangkan publik. Gratifikasi yang dilarang menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang hanya menyasar penyelenggara negara. Tidak ada satu pun frasa anggota keluarga seperti anak, istri, ataupun orang tua dicantumkan sebagai pihak dapat turut serta dianggap melawan hukum di dalam Undang-Undang tersebut.
Kalau saja hukum dibentuk bukan berdasarkan kehendak moral oleh para pengusungnya. Tentulah pergunjingan tentang Kaesang sudah berakhir semenjak Nurul Ghufron menganulir tuduhan publik terhadap Kaesang dengan jawabannya yang cenderung 'cari aman'. Namun, moralitas adalah akar dari hukum itu sendiri.Â
Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi membatasi aturan penerimaan Gratifikasi yang terlarang hanya bagi penyelenggara negara, namun sesungguhnya Kaesang sudah menerima hukuman tanpa satu pun perangkat hukum positif. Dan hukuman itu berbentuk cibiran masyarakat.
Bagi figur yang dikenal masyarakat, ketua partai, apalagi anak presiden, cibiran bukan vonis yang memalukan. Bahkan, mungkin tak akan didengar. Tapi bagi Saya - seorang pengagum sosok Raja Jawa yang dahulu dikenal karena kesederhanaannya, perilaku "anak bungsu raja" ini benar-benar memalukan. Â Saya khawatir, saya yang lebih merasa malu dengan kelakuan Kaesang ketimbang Jokowi dan Kaesang sendiri.
Tanam Budi
Mungkin tidak banyak masyarakat yang memahami gratifikasi dengan benar. Â Untuk menyederhanakan pemahaman kita semua dalam satu kali baca, Saya akan mendefinisikan gratifikasi sebagai hadiah dengan maksud 'tanam budi'. Dengan definisi ini, jelas-pembuktian gratifikasi sangat sulit dilakukan. Seandainya Kaesang adalah penyelenggara negara, tidak ada satupun aparat penegak hukum bisa memastikan pemberi hadiah memiliki maksud tanam budi pada detik ini.
Ya. 'Budi' yang ditanam itu akan tumbuh dan dipetik hasilnya nanti. Bisa jadi, ketika Kaesang sudah memasuki umur yang cukup untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah atau Kepala Negara lalu menduduki jabatan tersebut. Tentu itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Sebab perhelatan Pilkada sudah memupuskan asumsi itu.Â