Mohon tunggu...
Sasty Legina
Sasty Legina Mohon Tunggu... Mahasiswa - enjoy life

Medical Lab'20

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengenalan Alam yang Berujung Tragedi

24 Februari 2020   20:01 Diperbarui: 24 Februari 2020   20:00 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

           Susur sungai adalah kegiatan mengenalkan ekologi sungai. Terdiri dari pengenalan arus air, komponen yang ada di sungai, bentukan sungai, lingkungan sekitar sungai, badan sungai baik itu lingkungan pertanian,hutan,mata air dan sebagainya. "Susur sungai melatih seseorang untuk memahami jenis bahaya yang ada di sungai dan kegiatan melatih ketahanan fisik,"  kata mantan Ketua Divisi Arung Jeram Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) M. Hari Subarkah saat dihubungi Kompas.com Sabtu (22/2/2020) (dikutip dari Kompas.com Senin, 24 februari 2020). Namun susur sungai yang dilakukan di Sungai Sempor oleh SMPN 1 Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini menewaskan siswanya sendiri.

            Kejadian ini berawal ketika SMPN 1 Turi mengadakan kegiatan pramuka yang diikuti oleh siswa kelas 7 dan 8. Namun hanya 249 anak yang terdiri dari 124 siswa kelas 7 dan 125 siswa kelas 8 yang ikut serta dalam susur sungai ini. Sementara, pembina pramuka yang mendampingi ada tujuh orang. 1 orang menunggu di sekolah, 1 menunggu di garis finish, 4 ikut turun ke sungai, dan 1 lagi juga ikut turun ke sungai, tetapi langsung pergi karena sebuah keperluan. Pada hari jumat sekitar pukul 14.00 WIB kegiatan berlangsung dengan lancar dan saat siswa mulai turun ke sungai, air masih dangkal. Mereka lalu masuk ke sungai dan berjalan melawan arus ke utara. 

Sekitar pukul 15.00 WIB, mendadak terjadi hujan deras di hulu sungai, sehingga air sungai pun tiba-tiba deras menerjang siswa dan sebagian besar dari mereka hanyut terbawa arus. Para siswa spontan berupaya saling menyelamatkan. Mereka yang selamat pun berjalan naik menjauhi sungai. Pada pukul 15.30 WIB, tim SAR dan relawan mulai memberikan pertolongan serta evakuasi (dikutip dari SuaraJogja.id pada hari Senin, 24 Februari 2020). Dari 249 siswa, 10 siswa meninggal dunia akibat terbawa arus sungai. 

Dan kejadian ini menarik perhatian banyak kalangan, salah satunya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). "KPAI menyayangkan pihak sekolah yang diduga ceroboh, karena tidak menghitung secara masak faktor risiko menyelenggarakan kegiatan susur sungai di saat musin penghujan dengan kondisi cuaca ekstrem, bahkan diduga kuat mengabaikan peringatan BMKG," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/2/2020).(Dikutip dari Detiknews pada hari Senin, 24 Februari 2020). 

Terkait kejadian ini, enam orang yang merupakan pembina pramuka telah diperiksa oleh pihak berwajib. Kabid Humas Polda DIY, Kombes Yulianto, Sabtu (22/2/2020) mengatakan "Dari pemeriksaan ini saksi-saksi ini, dari hasil gelar perkara menyimpulkan untuk menaikan status penyelidikan menjadi penyidikan," dilansir dari Tribunnews.com. "Maka kami juga sudah menentukan satu orang dengan inisial IYA sebagai tersangka" jelas Kombes Yulianto. Menurut penuturannya, IYA memiliki peran dalam memberikan ide untuk melakukan susur sungai di lokasi tersebut. (dikutip dari Sosok.id pada Senin, 24 Februari 2020)

            Susur sungai merupakan kegiatan yang baik bagi pelajar untuk mengenal alam, namun harus memperhatikan beberapa faktor. Cuaca merupakan faktor yang penting dalam melakukan kegiatan susur sungai ini, diperlukan cuaca yang cerah untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini lah yang tidak diperhatikan oleh Pembina Pramuka SMPN 1 Turi. Walaupun keadaan cuaca sebelumnya cukup cerah namun bisa saja cuaca berubah dengan waktu yang cepat. Datangnya aliran sungai yang deras pun cukup sulit di prediksi apalagi pada saat kejadian tidak ada yang menyadari tanda-tanda datangnya aliran sungai yang deras. Kurangnya orang dewasa yang mengawasi, membuat kegiatan ini cukup membahayakan. 

Bayangkan saja jumlah siswa 249 tidak seimbang dengan jumlah pembina yang mengawasi yaitu 4 orang. Sebenarnya pengenalan alam tidak harus ditempat yang jauh, di lingkungan sekolah atau disekitar sekolah pun bisa dilakukan. Kalau pun pengenalan alam ini dilakukan cukup jauh dari sekitar sekolah atau pemukiman warga, haruslah didampingi oleh orang dewasa dengan jumlah yang cukup banyak. Selain itu, selalu pantau cuaca sebelum diadakan kegiatan agar tetap aman. Untuk kedepannya, semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini yang dapat merugikan hajat hidup orang banyak. Jangan sampai apa yang kita harapkan malah berbalik dengan malapetaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun