Pagi ini langit sedikit mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Suasana semakin tenang. Hanya terdengar beberapa kendaraan melintas di jalan raya. Burung-burung saling menyapa di atas pohon asam jawa. Sesekali terdengar suara sapa anak-anak. Sang jago pun tidak kalah. Dia berkokok seperti seorang komandan perang.Â
Aku sadar dari tidur dalam suasana tenang. Kini aku kembali tenang di dalam rumah doa. Kano, koster paroki sedang menikmati empuknya tempat tidur. Aku sengaja tak membangunkannya. Biarlah pagi ini menjadi miliknya.Â
"Mengapa dia hanya diam saja sejak aku melemparkan kata pertama padanya?" ungkapku dalam hati.Â
Kejadian semalam masih terbawa hingga pagi ini. Dia berubah setelah aku memilih untuk bertahan. Belum lagi litani telanjang yang kudaraskan padanya. Dia pasti terluka atas semuanya itu.Â
Aku menatap penuh keluh wajah Tuhan yang tergantung, "Jika itu kehendak-Mu, aku pasti bertahan. Aku mohon kembalikan senyum yang hilang dari wajahnya."
Aku merasa bersalah atas semua dukacita yang dialaminya. Jika aku tahu semuanya berakhir seperti ini, mungkin hubungan ini tak akan berlangkah lebih jauh ke hatinya. Namun, inilah cinta. Mencintai tak harus memiliki. Kita tidak akan pernah saling memiliki. Aku tahu cinta akan selamanya milik sang waktu.Â
"Tuhan, jamah dia pagi ini. Aku tahu dia masih bermimpi untuk sebuah keseriusan cinta. Ubahlah semua kekecewaan menjadi kebahagiaan. Kembalikan senyum yang selalu membekas di wajah cantiknya. Aku ingin dia tetap menjadi milikku selamanya," doaku di hadapan-Nya.Â
Aku menanti balasan WA yang kukirimkan padanya. Niatku hanya ingin berterima kasih atas waktu dalam senyap di tidur malamku. Semoga dia selalu menyediakan ruang bagiku untuk melepas rindu. Kelak dia 'kan tahu betapa aku selalu meratapi luka yang timbul saat cinta harus memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H