Tanah di kampung sebelah itu akhirnya dijual.
Pemiliknya tak tahan menangkal sebal,
anaknya terus merengek
minta dibelikan motor.
Dan karena tak punya alternatif lain,
tanah itupun lalu dijual.
Tanah di desa sebelah sana akhirnya dijual.
Pemiliknya tak kuat disambati isterinya,
yang mengharuskan jaga gengsi
dalam perkawinan anaknya,
Dan karena tak punya alternatif lain,
tanah itupun lalu dijual.
Tanah di pinggir utara kota itu akhirnya dijual
Pemiliknya disuruh pergi oleh penguasa wilayah
Karena ada rencana perluasan jalan masuk ke kota.
Dan karena tak ada alternatif lain,
tanah itupun lalu dijual.
Tanah di dekat rumah pak camat itu akhirnya dijual.
Pemiliknya dihimbau terus menerus
oleh kiri-kanannya agar segera beribadah ke tanah suci.
Mumpung nyawanya belum pupus.
Dan karena tak ada alternatif lain,
Tanah itupun lalu dijual.
Tanah-tanah itu semua sudah dijual,
dua puluh lima tahun yang lalu.
Dan kini pemiliknya yang jatuh miskin,
hanya bisa bercerita kepada cucunya
bahwa tanah itu dulu adalah miliknya.
(Sastrawan Batangan, 7 November 1996/26 Februari 2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H