Mohon tunggu...
Sastrawan Batangan
Sastrawan Batangan Mohon Tunggu... -

Sastrawan Batangan, yang lahir di Surabaya, pernah mukim di Surabaya, Malang, Bogor, Jakarta, Depok dan Cibinong. Hobi waktu senggangnya antara lain adalah membaca berbagai tulisan tentang kehidupan serta menulis puisi, artikel dan cerita berbasis makna hidup dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kalau Memang Tidak, Kenapa Ayam Tanya?

28 Maret 2015   05:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:54 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427495000928789056

Coba lihat manusia makan.
Ada yang lembut, sopan seperti raja atau paling tidak pernah ikut sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara seperti kuda. Ada yang kalau makan terlihat serius. Ada yang tidak menengok ke kiri atau kanan dengan mata memelototi makanan seperti takut kehilangan lauknya.

Coba pandang manusia yang sakit perut.
Ada yang wajahnya tidak kentara walaupun sakitnya menyengat tiada tara. Ada yang mulutnya bilang "aduuh" dengan wajah kesakitan yang membingungkan orang di seputarnya.

Coba perhatikan manusia yang berdiri di halte bus.
Ada yang wajahnya seram seperti mau melahap orang. Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak berdosa. Ada yang tersenyum seperti tidak ada derita. Ada yang nampak susah seperti punya beban berat tiada tara.

Coba saksikan manusia yang akan menuju alam baka.
Ada yang lembut, seperti tidak ada bedanya antara hidup dan mati. Ada yang matanya melotot, mulut berbusa seperti ayam. Ada yang mati di tempat tidur, tersenyum simpul. Ada yang mati mengerikan terpotong-potong seperti rajangan ayam.

Coba intip manusia di kota yang sedang bertegang otot leher.
Ada yang bilang "anjing". Ada yang bilang "babi". Ada yang tangannya sudah mendarat di kepala orang. Namun ada pula yang berusaha menahan diri.

Coba lihat manusia kelaparan di Afrika.
Ada yang kurus kering dan perutnya besar. Ada yang matanya melotot. Ada yang tulangnya bersembulan dari balik kulitnya yang tipis.

Coba tengok orang mencari rezeki.
Ada yang “makan sana makan sini”, serakah, tidak tahu baik-buruk. Ada yang pelan, mantap, tidak lupa “kiri kanan”.

“Itulah berbagai ragam polah manusia sehari-hari. Ada yang benar-benar seperti manusia. Ada pula yang seperti ‘binatang yang bisa bicara’. Tapi kalau diamati, kebanyakan manusia tidak bisa meninggalkan sifat binatangnya. Karena alasan itu, dunia ini boleh diibaratkan sebagai kebun binatang besar,“ renung Jon Balekon sambil tersenyum.

Jon Balekon pun lantas tertidur. Dan dalam tidurnya ini dia bermimpi mengunjungi Kebun Binatang Ragunan. Mendatangi kandang demi kandang menengok beragam jenis binatang.

Di salah satu kandang, dia berjumpa dengan binatang yang tubuh dan wajahnya relatif mirip dengan manusia. Itulah monyet.

"Apakah kamu juga monyet seperti saya, Jon Balekon? Lagak tingkahmu koq seperti aku," kata monyet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun