Mohon tunggu...
Sastrawan Batangan
Sastrawan Batangan Mohon Tunggu... -

Sastrawan Batangan, yang lahir di Surabaya, pernah mukim di Surabaya, Malang, Bogor, Jakarta, Depok dan Cibinong. Hobi waktu senggangnya antara lain adalah membaca berbagai tulisan tentang kehidupan serta menulis puisi, artikel dan cerita berbasis makna hidup dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Berani Tidak Terang untuk yang Terang

4 Mei 2015   06:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika Dliman, kawan Jon Balekon, lahir, ia masih betul-betul polos seperti kepalanya yang plontos. Tidak tahu sama sekali mengenai lingkungannya. Bahkan yang di depan matapun ia tidak tahu itu apa dan untuk apa.

Ia kemudian menjadi tahu nama-nama benda dan apa manfaatnya karena ada yang mengajarinya. Mungkin ibunya, mungkin bapaknya, atau kakaknya atau manusia-manusia lain di sekelilingnya. Termasuk gurunya ketika ia menginjak bangku sekolah.

Dliman yang kemudian dewasa, juga diajari "itu baik, ini tidak. Itu tidak boleh, yang ini boleh. Itu salah, ini benar. Itu positif ini negatif". Sampai akhirnya ia dapat menetapkan sendiri "baik dan buruknya" sesuatu yang dihadapinya, tanpa harus ada lagi sang pengajar di hadapannya.

Pengalaman dan akalnya telah menjadi sumber dari penetapan "baik dan buruk" itu. Namun bagaimanapun juga, jiwa atau ajaran guru-gurunya yang terdahulu akan relatif memiliki peran dalam penetapan baik dan buruk itu.

Ketika Dliman kemudian bermasyarakat, ia yang telah relatif tahu mengenai "baik dan buruk" itu, pernah "mentok". Ia pernah dimaki orang, membuat orang marah, membuat orang cemberut. Mengapa ? Karena Dliman mengungkapkan "baik dan buruknya" itu dengan polos tanpa mempertimbangkan situasi. Lho lha koq bisa ?. Ya, karena medan bicaranya tidak cocok. Ya, karena rekan "ngobrolnya" belum siap untuk menerima yang "buruk". Ya, karena ada yang merasa digurui ketika Dliman mengungkapkan yang "baik".

Dliman yang memang senang mengup-grade diri tanpa harus ikut course yang keren dan mahal, sejak itu mengambil cara lain. Ia belajar, tepatnya menghapal, berbagai ragam guyonan. Ia menyisipkan yang "buruk" melalui banyolan. Ia mengemukakan yang "baik" dalam bentuk cerita yang lucu. Yang mendengar tertawa mengakak, atau tersenyum dan menjadi ingat kembali tentang yang "baik" tanpa merasa digurui.

Ia juga belajar teknik-teknik berkomunikasi yang efektif dari berbagai buku. Ia mencoba memahami cara dakwah, cara khotbah. Ia mencari tahu dari orang-orang yang berpengalaman mengenai cara berdiskusi. Ia mempraktekkan teori bagaimana meluncurkan ide dan menjadikan orang lain memakai ide itu tetapi orang lain tersebut tidak tahu bahwa asal ide itu adalah dari dirinya.

Dliman juga tidak lupa menambah ilmunya dengan teknik negosiasi, teknik diplomasi serta keterampilan berbahasa asing. Bahasa Arab ia pelajari. Bahasa Cina ia tahu. Bahasa Inggris ia juga bisa. Meski tidak semuanya mahir. Lengkaplah sudah, walaupun Dliman juga tahu bahwa ilmu dan teknik itu perlu terus ia kembangkan karena ia sadar bahwa "tiada kesempurnaan di dunia ini".

Dan akhirnya, Dliman di kantor disenangi orang. Bos senang (karena itu karirnya menanjak terus), anak buah senang, teman sejawat senang (karena itu oleh-oleh mengalir terus), relasi senang.

Di lingkungan tetangganyapun ia termasuk orang yang bisa berkomunikasi dan disenangi tanpa harus menjadi ketua rukun tetangga atau rukun warga. Ini ada caranya. Sewaktu pemilihan, dengan cara komunikasinya (yang dirahasiakan), perhatian orang bukan pada Dliman, tetapi pada orang lain sehingga orang itu terpilih jadi ketua. Dliman bukannya tidak mau berpartisipasi. Ia tetap aktif walaupun hanya sebagai pembantu umum.

Dan suatu malam, menjelang tidur, Dliman yang kini tua, 70 tahun, merenung. "Baik dan buruk memang harus diketahui oleh makhluk yang disebut orang. Di samping itu ada kewajiban untuk memberitahu orang lain yang memerlukan. Sebab kalau orang lain yang memerlukan tidak diberitahu, ia akan menyusahkan dirinya sendiri dan pada gilirannya bisa-bisa orang lain –termasuk diri kita- juga akan ikut susah. Merepotkan seperti orang buta yang tak punya tongkat, ke mana-mana perlu dituntun".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun