Mohon tunggu...
Leo Christianto
Leo Christianto Mohon Tunggu... Lainnya - Leo

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Perempuan yang Sedang Merindukan Pelukan

1 Maret 2019   12:52 Diperbarui: 1 Maret 2019   12:57 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berbaring sendiri di sunyinya malam ditemani sinar lampu yang temaram. Majalah edisi lama yang selesai kubaca, sejatinya telah raib berpuluh-puluh halaman akibat ulah Si tikus-tikus nakal. Walau tak menghilangkan rasa kebosanan. Apalagi kesepian dan kedinginan.

Saat ini, aku butuh kehangatan. Bukan persenggamaan tapi pelukan. Ya, pelukan. Pelukan tulus dan mesra dari seseorang yang bisa kubanggakan. Bukan pelukan penuh birahi yang menjurus kepada hal yang bukan-bukan, dari suami orang atau laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal. Ganteng atau jelek tak jadi soal. Karena sesungguhnya, aku hanya ingin dicintai dan dirindui. Bukan ditiduri apalagi dipukuli. Sayangnya, semua khayalan itu cuma bayang semu.

Masih kuingat dimasa SMA, ketika pertama kali aku kehilangan kesucian. Bukan karena murahan, tapi terpaksa. Diperkosa oleh teman-teman sekolahku yang tak bertanggung jawab. Dasar laki-laki! Semuanya bejat. Otak mesum. Asal rok terangkat langsung disikat! Tak punya moral. Pikirannya bobrok.

Apa mau dikata, waktu itu aku sedang mabuk. Walhasil, aku digilir beramai-ramai dan ditinggalkan begitu saja di dalam kamar hotel dengan pakaian yang seadanya. Sungguh nista aku dibuatnya. Tapi aku tak pernah menaruh dendam pada mereka. Toh, waktu itu kami masih sama-sama muda.

Masa kuliah tak jauh beda. Hampir setiap malam, aku keluyuran ke mana-mana. Kadang jadi ladies di tempat karaoke, kadang berjoget ria di tempat hiburan malam. Sesekali aku terpaksa harus merelakan tubuhku yang tak suci, dijamah bebas tanpa dibayar oleh dosen yang tak keren.

Apa mau dikata, sejak dulu aku memang tidak terlalu pintar. Hanya kemolekan yang bisa kujadikan modal. Hidup di kota memang keras. Yah, daripada mampus, mendingan jadi ayam kampus.

Tak pernah terlintas sedikit pun rasa penyesalan di dalam otakku. Menangis pun percuma, sejak dulu, jalan hidupku memang sudah begitu. Rusak, terjal dan berbatu. Tak pernah mulus. Yang mulus cuma tubuhku. Oleh karena itu, pantaskah kalian menghinaku?

-Selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun