Kepada Lingling, Kau adalah musim semi yang kucemari dengan badai di luar jadwalnya, bunga yang kucabut dari tanahnya hanya karena aku tak tahu caranya menghargai keindahan. Aku ingat bagaimana kau berdiri di ambang pintu dengan mata yang basah namun tak lagi memiliki kilau. Wajahmu adalah wajah seorang pejuang yang kalah, bukan karena kurangnya kekuatan, tetapi karena medan perang ini terlalu penuh dengan duri yang kutaburkan.
Aku adalah angin yang berjanji membawa kesejukan, namun justru meniupkan debu dan kemarau. Aku adalah tangan yang seharusnya menjaga, tetapi malah menjadi penyebab luka. Aku menanam kesalahan di taman cintamu, dan sekarang hanya ada hamparan gersang yang membentang di antara kita.
Kau tahu? Malam selalu menjadi saksi bisu kesepianku. Setiap detik yang berlalu terasa seperti belati yang menusuk lambat. Aku memutar kembali setiap kenangan kita, seperti lembaran-lembaran buku yang terlipat di sudutnya, penuh dengan cerita yang tak pernah selesai. Suara tawamu yang dulu menghiasi malam-malamku kini hanya menjadi gema hampa, sebuah kenangan yang terus menghantuiku tanpa ampun.
Hujan di Januari, membasahi pipimu, pada air mata saat kau memaki dan mengutuku, lalu mengucapkan kata-kata terakhir sebelum kebisuamu menjajah penyesalanku, kata-kata yang menusuk jauh lebih dalam daripada aku kira.
Aku tahu, pada saat itu, pada saat hatimu dilanda bencana yang aku ciptakan, kau berteriak memakiku, meneriakan luka, kecewa, pada gemuruh antara bencana, tetapi luka terlalu menyakitkan bahkan untuk diungkapkan, untuk diteriakan. Dan aku? Aku berdiri di sana seperti seorang pengecut, menghindari semua kebenaran yang kau coba sampaikan melalui murkamu.
Anak kita, apakah ia tahu siapa aku? Apakah ia tahu bahwa darahku mengalir di tubuh kecilnya, atau apakah ia lebih baik tumbuh tanpa mengenal pria yang melukaimu? Aku sering membayangkan wajahnya. Apakah ia mewarisi matamu yang tajam, senyummu yang hangat, atau semangatmu yang tak pernah padam? Aku takut membayangkan, takut mengetahui bahwa aku hanya menjadi bayangan yang tak pernah ada di hidupnya, seperti debu yang terhembus angin dan hilang tanpa jejak.
Lingling, aku tidak meminta maaf hanya dengan kata-kata, karena aku tahu kata-kata ini hanyalah angin yang tak akan pernah sampai ke dalam legowomu, Aku menyesal dengan setiap pori-pori kulitku, dengan setiap nafas yang kuhirup, karena aku tahu, aku telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah bisa kugenggam kembali. Kau adalah lagu yang tak pernah selesai, sebuah melodi yang kini terasa cacat karena kesalahan irama yang kubuat.
Aku tak pernah berhenti berharap, meskipun harapan itu tak lebih dari asap yang melayang di udara, tak pernah mampu kembali ke sumbernya. Aku berharap kau bahagia, Lingling, meski itu berarti aku harus menjadi kenangan yang kau kubur jauh di dalam tanah hatimu. Aku berharap anak kita tumbuh menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang akan selalu kau banggakan. Dan aku berharap, meskipun hanya sedikit, bahwa kau akan menemukan kedamaian yang tak pernah bisa kuberikan padamu.
Kepada Lingling, aku adalah kapal yang karam di tengah samudra. Aku adalah api yang padam sebelum sempat menerangi. Dan kau adalah penyesalan terbesarku, satu-satunya hal yang membuatku ingin mengulang waktu, meski aku tahu itu tak mungkin. Jika surat ini adalah malam terakhirku di dunia, biarlah aku menutup mata dengan satu permohonan terakhir: aku ingin menebus segala dosa-dosaku kepadamu, kepada anak kita, dan kepada mimpi yang kita rakit, namun ku hancurkan sebelum sempat untuk berlayar.
Kepada Lingling, Hari-hari terus berjalan, tapi aku tetap diam di tempat yang sama. Waktu bagiku hanyalah perputaran matahari yang tak lagi berarti, seperti roda yang berputar tanpa arah. Aku mencoba melanjutkan hidup, mencoba menerima kenyataan bahwa kau dan anak kita telah pergi, tetapi setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Rasa sakit itu tak pernah benar-benar hilang, hanya tersembunyi di sudut-sudut yang tak terlihat, menunggu untuk menusuk kembali setiap kali aku mengingatmu.
Aku sering bertanya-tanya, apakah ini hukuman yang pantas untukku? Kehilanganmu, kehilangan keluarga yang bahkan tak sempat kurasakan utuh, adalah lubang besar yang tak pernah bisa kutambal. Aku teringat akan malam-malam ketika kau dengan sabar menungguku pulang, dengan senyum yang selalu kau paksakan dengan anak kita meski aku tahu hati dan ragamu lelah dengan keadaan yang ada. Aku teringat bagaimana kau tertawa di atas ranjang bersama anak kita, saat aku dan dia saling menggelitik, aku dan dia tertawa hingga membuatmu yang sunyipun ikut terbawa, ikut tertawa. Lalu kita menlanjutkan malam yang membosan dengan kesederhanaan kita dalam sebuah tawa yang kini tak lagi aku temukan pada ranjangku yang sepi. Tawa sudut malam menjadi teriakan penyesalan, hangat dekapmu dan anak kita lenyap di terkam badai dosa-dosa yang membayang setiap malam, menyeretku pada neraka penyesalan yang setiap detiknya bayangmu dan anak kita menyiksaku sampai sekarat.