Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keadilan Mati di Tangan Massa: Refleksi Kebiadaban yang Kita Panggil Adab

23 Desember 2024   07:41 Diperbarui: 23 Desember 2024   07:41 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokpri- AN.Sastra

Kita hidup dalam sebuah negara di mana hukuman mati lebih cepat dijatuhkan oleh massa ketimbang oleh pengadilan. Ketika maling tertangkap, bukan keadilan yang dicari, tetapi darah yang diserukan. Kita tidak lagi berbicara tentang keadilan, kita berbicara tentang kebinatangan kolektif, di mana setiap orang merasa memiliki hak untuk menghukum dengan cara yang lebih kejam dari para penjahat itu sendiri. Bukankah itu ironis? Kita menghakimi mereka yang mencuri, tetapi kita malah mencuri kemanusiaan kita sendiri.

Mari berhenti berpura-pura menjadi bangsa yang beradab jika kita masih menyaksikan maling kecil dibunuh secara brutal oleh massa yang beringas. Tidak ada pembenaran untuk kekerasan semacam ini. Tidak satu pun. Ini bukan tentang keadilan, ini tentang kebrutalan kolektif yang menjijikkan, tentang hilangnya rasa manusiawi dalam diri kita. kita harus bertanya pada diri sendiri: siapa yang lebih rendah dari pencuri itu? Kita atau mereka?

Yang sangat disayangkan adalah kemunafikan yang terjadi. Mereka yang berteriak paling keras saat menangkap maling kecil adalah orang yang sama yang diam seribu bahasa ketika koruptor besar mencuri miliaran. Mereka yang memukuli maling kecil hingga mati adalah orang yang dengan patuh membayar pajak yang dirampok oleh pejabat tamak. Di mana kemarahan kalian untuk mereka? Atau, apakah nyali kalian hanya sebesar itu, hanya berani pada orang lemah? Tapi yang dirasa adalah masyarakat dungu, pengecut namun sok berani dalam barisan masa banyak, menjadi hakim dadakan adalah pahlawan yang merampas hidup seseorang. 

Lebih parah lagi, sebagian dari kita menikmati ini. Rekaman penghakiman massa diunggah di media sosial, dilihat dan disebarkan tanpa rasa bersalah. Ini bukan hiburan. Ini pembunuhan. Dan Anda yang menonton, Anda yang bertepuk tangan, Anda sama menjijikkannya dengan mereka yang memukul hingga seseorang berhenti bernapas.

Ilustrasi dokri - AN.Sastra
Ilustrasi dokri - AN.Sastra

Masyarakat yang terus-menerus membenarkan penghakiman brutal seperti ini bukanlah masyarakat yang ingin berubah menjadi lebih baik. Kita tidak sedang mencari keadilan, kita sedang melestarikan kebiadaban. Jika kita tidak bisa menghentikan ini, maka jangan kaget jika anak-anak kita tumbuh tanpa rasa belas kasih, tanpa rasa hormat pada hukum, dan tanpa moral. Kita bukan manusia. Kita adalah monster yang berpura-pura beradab.

Kemarahan kita terhadap maling adalah cermin ketidakadilan sosial yang lebih besar. Mengapa ada orang yang sampai mencuri? Bukan karena mereka tamak, tapi sering kali karena kemiskinan, keterdesakan, dan sistem yang gagal memberikan mereka peluang hidup layak. Jadi, sebelum Anda mengangkat tangan untuk menghukum, tanyakan pada diri sendiri: apakah Anda tidak menjadi bagian dari masalah ini?

Baca juga: Pil Kadal

Tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari kita jika kita membiarkan kebrutalan ini terus berkembang. Kita mungkin menganggap diri kita lebih baik daripada maling yang kita hukum, tetapi kenyataannya, kita tidak lebih dari segerombolan orang yang terjebak dalam kebodohan dan kekerasan. Jika ini yang kita sebut keadilan, maka keadilan itu sendiri telah mati, dan kita hanya menunggu untuk menjadi mayat berikutnya yang dibiarkan tergeletak di tengah jalan, dihukum oleh massa yang sama sekali tidak mengerti apa arti manusia.

Hentikan ini. Jika tidak, maka kita semua adalah maling, mencuri hak orang lain untuk hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun