Asmara Renjana- : Pada KebisuanÂ
Bab 3 -Sinar mentari menyemburat di antara awan yang masih bersisa, menciptakan pelangi yang menjembatani langit dan danau. Balarama dan Asmara Renjana berdiri di tengah keraguan masing-masing, kebisuan di antara mereka seakan menyekap kata-kata.
Sesekali Balarama melirik wajah Asmara yang tampak sepi dan penuh kebisuan. Nafas panjang Balarama hirup dan ia hembuskan bersamaan dengan kepatah hatianya, bagai menyaksikan kebisuan pada sebuah gitar yang kehilangan senarnya.
Dengan berat Balarama membuka bibirnya dengan gemetar sembari mengucapkan kata yang tampak berat ia ucapkan.
"Asmara, aku harus pulang dan kembali, sebab kebisuanmu kali ini benar-benar membuat hatiku tersesat pada ruang hampa tanpa rambu penunjuk arah, bagai mawar yang gugur di tepi jurang, lalu daunya di terbangkan angin tanpa arah." ucap Balarama tanpa berani melihat sorot mata asmara yang seketika Berkaca-kaca menahan tangis, tapi masih dalam kebisuan.
"Tidak perlu kau jawab asmara, aku tau bibirmu kaku untuk berseru, biarkan aku pulang dengan membawa semua kesepianku, juga membawa kesepianmu," ucap Balarama tanpa keraguan meninggalkan bayangan asmara yang kian samar dan lenyap, beriringan dengan langkah kaki yang menjauh.
Wajah Asmara bagai mendung gelap yang seketika menjatuhkan air mata yang tidak bisa dia tahan lagi. Seakan mengutuk sunyi karena telah membiarkan bayangan Balarama pergi membawa kebisuan.
Mereka memutuskan untuk menjalani hari paling sunyi dengan membawa kepatah hatian. mereka menjelajahi jalanan kota yang berbeda, setiap sudut membawa kembali cerita dan ingatan pada masing-masing kepala. Seolah masa lalu dan masa kini bersatu, membentuk jalan menuju kesepian baru.
Asmara dengan segala kekecewaanya mengutuk kepergian Balarama, sedangkan Balarama dengan segala patah hatianya masih tenggelam dalam kebisuan Asmara. Namun, semesta seakan tau kebenaran atas keraguan mereka berdua, badai rindu seakan murka mendatangi kedua hati yang diam-diam saling mendoakan.
Jemari Asmara Renjana perlahan mengambil pena dan secarik kertas, di bawah rembulan yang cahanya redup di mangsa oleh mendung dia tulis sebuah surat.
"Hai Tuan, atau haruskah aku sebut namamu, Balarama. Pada kesepian yang kini mengingatkan semua tentangmu, tentang bayanganmu yang berlalu pergi meninggalkan kebisuanku waktu itu