7. Amenangi jaman édan
Ewuh aya ing pambudi
Milu édan nora tahan
Yèn tan milu anglakoni
Boya kaduman mélik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsaning Allah
Begja-begjané kang lali
Luwih begja kang éling lawan waspada
Menjalani hidup di zaman yang carut marut
Dalam hati yang penuh kebimbangan
Mengikuti keadaan, tidak sampai hati
Tetapi jika tidak ikut melakukan,
Tidak mendapat bagian
Pada akhirnya tidak mendapat suatu apapun.
Adalah peringatan dari Tuhan.
Kebahagiaan yang diraih oleh mereka yang lupa diri
Tidak mungkin menyamai kebahagiaan orang yang
selalu ingat dan waspada.
Serat Kalatidha oleh sebagian orang dianggap tulisan yang sudah usang (1840 M) dan merupakan sindiran terhadap pemerintahan Surakarta pada masa itu, namun di tengah masyarakat kita ditengarai sebagai simbol zaman ketika keadaan sudah dalam situasi yang krisis. Masyarakat terbelah menjadi dua bagian yaitu masyarakat yang édan dan masyarakat yang masih waras. Rupanya Ranggawarsita berada pada golongan yang kedua, sehingga berani menulis seperti kutipan diatas, yang sebenarnya merupakan protes terhadap penguasa pada zamannya. Orang-orang yang berada pada kelompok masih waras itu berada dipersimpangan jalan, mau ikut-ikutan “ édan “ tetapi selalu mendapatkan pembagian kue “ harta Negara “ atau bersikukuh menolak ajakan tetapi pada akhirnya bakalan kelaparan, karena tak secuil pun roti “ pengkhianatan” itu masuk kedalam perutnya. Ditengah kebimbangan itu teringat nasehat paramengkawi “ sabeja bejané wong kang lali, maksih beja kang éling klawan waspada” meski orang-orang yang “ édan” itu mendapatkan hasil yang bisa dinikmati, dengan hingar binger dan canda tawa, tetapi mereka lupa bahwa itu adalah bagian dari fukara wal masakin ( baca: rakyat). Sehebat apa pun mereka itu menutupi kerahasiaannya, suatu saat pasti akan tersingkap tabir tersebut. Maka berbahagialah mereka yang selalu ingat (dzikrullah) dan waspada bahwa roti yang diberikan itu berisi api neraka.
8. Semono iku bebasan
Padu-paduné kepéngin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatiné nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Mereka itu mencibir, ah itu sebenarnya mereka juga ingin seperti kami, iya kan ( katanya) benar menurut yang melontarkan tuduhan
Tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, sejatinya tidak demikian
Orang yang sudah tua itu apalagi yang dicari?
Kecuali hanyalah kedamaian hati
Agar mendapatkan ampunan dari Sang Maha Pencipta.
Pada bagian ke delapan rupanya Ranggawarsita sudah mengetahui, bahwa golongan orang yang “ édan” itu justru mencibir, menganggap orang-orang yang berada di golongan “ waras” sebagai orang-orang yang iri kakrena tidak mendapat bagian, coba saja kalau mereka itu juga ikut menikmati, roti “corrupt” tentu mereka akan diam sambil mengangguk-anggukan kepala, penuh canda tawa. Tapi semua itu apa ? kataku, aku ini sudah tua, menjelang sisa akhir hayatku hanya ingin hidup uzlah untuk mendapatkan ampunan dari Sang Khalik.
Serat Kalatidha ini, ditulis disela-sela Ranggawarsita menerima kontrak
menyusun Bausastra Kawi bersama Dr. CF. Winter diseputar tahun 1840-1843.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H