Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Serat Centini [15]

7 Januari 2013   11:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bekas kerajaan Majapahit

Syahdan yang ada di tengah hutan belantara, Radèn Jayèngresmi dalam keadaan setengah sadar  [layap liyeping ngaluyut],  mendengar ada suara gemerisik dedaunan yang disibak oleh orang, suara orang-orang yang menerobos dedaunan rimbun yang kering, suara itu semakin mendekat gemerisik pun semakin jelas dan keras, dan suara langkah kaki yang mendekati panggrok[1]

Setelah diperhatikan dengan jelas, ternyata orang yang datang itu adalah Gathak dan Gathuk [2]. abdi kinasih. Mereka itu sebenarnya sejak pecah perang; Mataram menggempur Giri Kedaton, keduanya mencari Raden Jayengresmi, namun di setiap sudut ruangan kosong. Para penghuninya berhamburan keluar, mencari selamat.

Mengingat bahwa tugas yang diberikan oleh Sunan Giri Prapen kepada dua orang itu , mengawal dan mendampingi kemana pun Sang Jayengresmi berada, maka ketika sang raden itu  kabur dari Giri Kedaton, keduanya menjadi kebingungan, maka  mencari kemanapun perginya sang Jayengresmi.

Setelah dapat menemukan junjungannya, kedua punakawan Gathak dan Gathuk memberi hormat sambil menangis, demikian pula radèn Jayèngresmi, keduanya tak dapat berpisah.

Radèn Jayèngresmi bertanya;” kakang Gathak dan Gathuk, apakah kalian sehat-sehat saja? Aku merasa berterima kasih, karena kalian telah menyusul kemari. Tetapi kira-kira ada  prajurit pangalasan yang membututi kalian apa tidak ?”

Jawab  Gathak dan Gathuk hampir bersamaan;” tidak ada,  radèn”

“ jika kalian sudah cukup istirahatnya, maka kita segera melanjutnya perjalanan, karena hutan ini masih dalam pengawasan yang mudah dijangkau !”lanjut Radèn Jayèngresmi.

“ iya radèn, hamba berdua tidak lelah, silakan, hamba mengikuti!” sahut kedua abdinya.

jika begitu, mari kita segera meninggalkan hutan ini, karena terlalu lama disini bisa ditangkap oleh prajurit dari Surabaya maupun Mataram!

Perjalanan mereka menuju ke arah timur, naik bukit turun jurang, keluar masuk hutan, berhari-hari tidak berani melalui jalan pedesaan. Makan seadanya, yang dapat ditemui di hutan, dan minum dari air sungai. Tanpa terasa mereka bertiga telah memasuki kawasan bekas kerajaan Majapahit.

Di dalam puing kerajaan Majapahit  terdapat gerbang yang terbuat dari  batu bata merah dan disusun padat bak batu yang ditumpuk, sangat keras tiada rongga sedikitpun. Padahal cara pemasangan bata merah itu tanpa menggunakan perekat gamping,  jadi bata merah itu hanya ditumpuk saja. Mungkin saja karena memasangnya yang pas, tepat ukuran, bentuk dan ukurannya sama, sehingga nampak rapi  dan teratur. Dari kejauhan nampak seperti batu cetak saja.

Gapura tadi dihiasi dengan ukiran  pinatra sekar [3], diatas pintu gerbang yang disusun bersaf-saf, dan ukirannya pun sangat halus.

Di kanan kiri gapura terdapat pohon Mandira yang daunnya rimbun bergelayutan. Di bagian luarnya ada Baluwerti [4]yang dibuat dari bata merah dan ditumpuk dan tertata rapi  membujur, di semua sisi menjadi benteng kedaton, di dalam puri ada sebuah kolam airnya jernih berkilauan.

Prigi  [kolam yang dipagar] tadi dipagar dengan batu merah di semua sisinya,  kecuali  bagian kanan dan kiri dibuat sebagai pintu masuk. Di tepi prigi tadi banyak tanaman yang bunganya harum, seperti ; Andong, Anggrèk, Argulo Bang, Noja, Sekar Nala, Nagasari, Cepaka Rum, Claket, Kembang Rejasa, Rukem Ragaina, Klurak, Kanigara, Kemuning, Kenanga, Dlima, Dilem, Taluki Surni, Mawar, Pacarcina, dan Pudhak.

Semua tanaman yang ada didalam puri tersebut ditulis satu persatu, semacam registrasi. Pada saat melihat-lihat tanaman bunga, Sang Jayèngresmi teringat pada adik perempuannya  Nikèn Rancangkapti [5] yang kesukaannya pada tanaman dan bunga-bungaan, ketika tiap bangun pagi selalu mencari bunga-bunga di patamanan Giri Kedaton.

Setelah dari bekas kedaton Majapahit sang raden berjalan ke arah utara dan mendekati sebuah makam, namun siapa yang dimakamkan disitu raden Jayèngresmi tidak tahu, dengan sikap rendah hati dan penuh kesopanan raden Jayèngresmi berucap salam ;“assalamu alaikum” suaranya menggema di ruangan, dan terdengar ada yang menyahut ; ” iya radèn wa alaikum salam’.

Jayèngresmi dan kedua abdinya memasuki rumah makam itu, kemudian duduk bersila dan mendoakan yang dimakamkan disitu. Setelah selesai berdoa  dari makam yang tak dikenal itu, mereka meningggalkan makam dan  melanjutkan melihat-lihat kearah selatan.

Gathak dan Gathuk terperanjat ketika melihat sebuah arca besar   amuka sona. Raden  Jayèngresmi dan kedua punakawannya, sudah selesai melihat  bekas kerajaan Majapahit itu, kemudian kembali lagi ke prigi, mereka bertiga mengambil air wudlu, untuk shalat ashar.

Usai shalat Ashar, mereka meninggalkan pura kedaton Majapahit, tiba-tiba ada seseorang yang mendekatinya. Orang itu datang dengan penuh sopan santun menemui raden  Jayèngresmi, dan berkata;” ananda yang baru saja datang kesini, paman mengucapkan selamat datang, semoga kalian dalam keadaan selamat, siapakah ananda dan darimana serta kemana tujuan anda?

Jayèngresmi menyahut ;” Paman mengucapkan selamat datang, sungguh saya sangat berbahagia dan paman sungguh sangat rendah hati. Diriku tidak bertempat tinggal paman, aku tidak punya rumah tinggal, tujuanku ke sini adalah mencari kedua adikku laki-laki dan perempuan, yang kabur dari rumah dan tak jelas kemana perginya. Adapun namaku adalah  Bagus Santri . nah paman sendiri namanya siapa?

Orang itu menjawab” nama hamba ki Purwa, yang mendapatkan tugas untuk merawat patilasan kedaton Majapahit, silakan radèn jika berkenan untuk singgah, ke rumah paman?”

Jayèngresmi smenyahut “ terima kasih paman Purwa, disini saja, sambil mencari berkah

Ki Purwa kemudian menunjukkan tempat ziarah lainnya “jikalau ingin yang lebih utama adalah dilantai dasar tempat samadi itu, jika pada hari malam Selasa Kliwon banyak orang dari luar daerah yang datang berkunjung. Yah, keperluan mereka bermacam-macam yang bersedia menyembah asthagana-nya paduka Putri Cempa. Apakah raden sudah melihat ke dalam puri?”

Jayèngresmi menjawab; “ paman saya sudah melihat-lihat  dari semua lorong dan ruangan yang ada di dalam puri, juga di makam, arca dan kolam kuna itu?”

Ki Purwa bercedrita;” gapura itu namanya Waringin-lawang, adapun prigi itu kesukaan sang Prabu Brawijaya sebagai bentuk tanda cinta dan kasih-sayangnya terhadap Putri Cempa, yang sudah dimakamkan di sini dan bahkan sudah masuk ke dalam agama Islam. Arca amuka Sona itu merupakan perlambang Narpati Blambangan Minakjingga, adapun tempat pemujaan itu dinamakan candi Brau yang letaknya tidak jauh dari sini.. apakah raden belum  melihatnya? Kalau berminat, sebaiknya nanti malam saja, dan hamba akan menemani raden!”

[1] gubug yang tinggi,  dibuat dari bambu

[2] nama punakawan

[3] Pinatra sekar, bs.kawi tegesé dedaunan dan bunga

[4] Baluwerti=pagar tembok

[5] Nikèn Rancangkapti adiné Jayèngresmi kang waruju

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun