Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Serat Centini [10]

31 Desember 2012   02:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Srikandi Surabaya

Dalam pada itu, yang berada di pendapa Kadipatèn Surabaya, para prajurit yang meninggalkan medan pertempuran dan mencari selamat, kini telah berkumpul di halaman.

Pangéran Pekik dan isterinya Ratu Pandhansari, merasa berduka, dan sedih karena melihat rusaknya barisan dari Surabaya.

Ki Sapanjang yang menjadi Senapati memimpin prajurit Surawesthi melapor ;”Gusti, Adipati, hamba menyerahkan hidup mati hamba kepada paduka, karena selama pertempuran di Giri Kedaton tidak mampu menandingi sepak terjang Sénapati Endraséna maupun wadya santri dari pesantren Giri, yang dengan semangat jihad berani mati menerjang barisan Surabaya, seperti orang berenang di sungai. Mereka tidak mempedulikan keselamatan dirinya. Sedangkan hamba dan para prajurit, dalam hati merasa khawatir dan cemas, mohon ampun Gusti”

Pangeran Pekik setelah menerima laporan ki Sapanjang , hatinya menjadi semakin cemas dan sedih, betapa melihat sendiri keadaan sikap mental prajuritnya yang sama sekali tidak mampu memberikan perlawanan. Mereka telah kehilangan jatidirinya sebagai prajurit pinilih, tetapi justru ngucireng jurit datan mbayu ing payudan.

Ratu Pandhansari melihat keadaan yang semakin memburuk dan sangat mencemaskan itu, kemudian dengan takzim berkata ;” wahai kanda Adipati, jika demikian halnya yang menjadi sebab kekalahan prajurit Surabaya, dinda mohon ijin dan perkenan kakanda Adipati, jika masih dapat diperbaiki maka hamba akan memperbaikinya.”

Pangéran Pekik terkejut setelah mendengar permintaan isterinya,  Ratu Pandhansari.

” adinda, isteriku sayang, ada apa sebenarnya, apakah maksud adinda mengucapkan kalimat seperti itu ? prajurit Surabaya memang cemas dan ketakutan ketika melihat sepak terjang prajurit santri dari Giri Kedaton ! kemudian apa kehendak mu dinda?”

Ratu Pandhansari menyahut ;”  hamba hanya minta, jika ini kakanda mengijinkan, dan mungkin bisa membangkitkan semangat para prajurit nantinya !”

Mendengar ucapan Ratu Pandhansari, dengan segera Pangéran Pekik merangkul erat isterinya sambil membisikkan ditelinganya;” Sungguh isteriku adalah permata di Surabaya, jika memang itu langkah terbaik yang dinda pikirkan, maka tidak perlu syak wasangka. Kehendak adinda aku dukung, kakanda yakin dan mengerti maksud adinda ratu. Aku hanya dapat menyerahkan semuanya pada kehendak adinda, serta  aku rela mengangkat adinda menjadi Srikandi Kadipaten Surabaya!”

***

Pagi itu, sang Bagaskara menebarkan senyumnya ketika sepenggalah, Ratu Pandhansari duduk berdekatan dengan Pangéran Pekik di Tarub halaman Kadipaten.

Prajurit Surabaya telah membentuk barisan yang rapi, kemudian Ratu Pandansari berpidato singkat;” wahai seluruh prajuritku, wadyabala Surabaya. Hari ini aku berdiri sebagai Senapati Kadipaten Surabaya yang diwisuda oleh Kakanda Adipati kemarin sore. Dengan mengenakan busana kaprajuritan ini, aku juga diberi bekal oleh kakanda Adipati uang yang cukup dan juga pakaian yang baru dan bagus-bagus. Uang dan pakaian ini diberikan kepada kalian sebagai ucapan terima kasih karena kemarin kalian telah berangkat perang, dan bisa selamat. Paman Sapanjang, semuanya aku serahkan kepadamu, bagikan kepada mereka secara merata, jangan ada yang terlewatkan.”.

Uang dan pakaian telah diterima oleh Patih Sapanjang, kemudian dibagikan kepada seluruh prajurit yang hadir di alun-alun itu, semuanya mendapatkan bagian dan tidak ada yang terlewatkan. Prajurit hatinya menjadi gembira.

Kemudian  Ratu Pandhansari melanjutkan pidatonya:” para prajuritku semua, kalian telah menerima hadiah dari kanda Adipati, dan ini sebagai tanda bahwa kalian masih merasa menjadi keluarga besar Kadipaten Surabaya. Harapanku kalian mau mengikuti perjalananku dalam upaya melanjutkan pertempuran lanjutan, untuk menebus kekalahan kita kemarin. Tentu semangat juang kalian saya butuhkan, saya hanya minta semangat juang  kalian dalam bertempur. Jika kita berhasil menaklukan Giri Kedaton, maka kalian akan menerima imbalan kemuliaan seratus kali lipat, dari yang sekarang  ditangan kalian. Itu saja masih belum seberapa, dan tidak mungkin aku akan melupakan perjuangan kalian.”

Ratu Pandansari pidatonya semakin berapi-api membangkitkan semangat para prajurit, pasukan yang ada di alun-alun Surabaya itu seperti dicambuk semangatnya, seperti mendapatkan aba-aba mereka menghentakkan kakinya di tanah, dan tangan mengepal keatas , dengan suara menggemururuh “ tandya”

Kemudian lanjutnya ; ” aku tahu bahwa orang-orang di Surabaya itu sudah terbiasa mengutamakan kewibawaan negerinya, dan merasa marah jika negerinya dihina.  Kalian tidak perlu mendukungku, kalian tidak perlu berhutang budi padaku maupun kanda Adipati. Perjuangan kalian bukan untuk kemuliaanku juga bukan untuk keluargaku. Jiwa ragaku ini tidak seberapa manfaatnya bagi rakyat Surabaya. Tokh, jika kalian tidak membantuku pun sebenarnya aku cukup duduk manis di Mataram, keluargaku sama sekali tidak kekurangan. Semua ini aku lakukan karena terdorong oleh rasa  kasihan kami kepada para prajurit yang tewas, mereka itu semua meninggalkan anak dan isterinya, mereka  jasadnya bergelimpangan di medan pertempuran. Mereka yang tewas sama sekali tidak dapat menikmati hadiah seperti kalian yang sedang ada dihadapanku, sekarang ini. “


Ratu Pandansari menebarkan pandanganya ke seluruh prajurit , nampak bahwa mereka sudah mulai tergerak hatinya, sudah mulai bangkit semangatnya. Dari cara mereka bersikap, berdiri dan mengepalkan tinjunya, jelas semangat juang telah pulih kembali.

“ Dahulu di pelosok brang wetan itu telah mengakui bahwa Surabaya menjadi manggalaning ajurit, seluruh kadipaten di brang wetan selalu meminta perlindungan ke sini, karena apa? Karena para prajuritnya yang tidak takut melihat mengalirnya darah, mereka  memiliki semangat untuk hidup, mereka tidak loyo, tidak pasrah pada keadaan. Itu dulu. Adapun sekarang  sudah lain zamannya, orang lebih membelakangi perjuangan, mengedepankan kepentingannya sendiri dan keluarganya, daripada membela kepentingan negaranya dari ancaman musuh. Baiklah itu saja yang saya sampaikan kepada kalian, mulai sekarang bubarkan prajurit Surabaya, kalian boleh pulang ke rumah masing-masing tidurlah yang nyaman dengan isteri dan anak kalian. Aku minta pamit untuk kembali ke Mataram, melaporkan kepada kanda Prabu bahwa aku telah gagal untuk menaklukkan Sunan Prapen di Giri Kedaton yang menjadi ancaman  seluruh rakyat di Kasultanan Mataram. Aku telah pasang dada siap dihukum mati. Dan kepada seluruh rakyat di Surabaya, selama aku disini banyak melakukan kesalahan , aku minta kalian memaafkan. Kalian tidak usah ikut campur dalam hal ini, dan aku mohon pamit pada kalian, sepeninggalku semoga kalian tetap diberi keselamatan. “

Ki Sapanjang, menyampaikan orasinya mewakili seluruh prajurit ;”  wahai Gusti Ratu , junjungan hamba, kami mohon paduka jangan segera kemabali ke Mataram. Sebaiknya paduka saksikan kesetiaan prajurit dalam mendarma baktikan untuk rakyat Surabaya, dan bagaimana sikap para prajurit. Karena hamba sudah mendengar kesanggupan para prajurit Surabaya, mereka bersedia berkalang tanah demi untuk Surabaya. “

Seluruh prajurit yang pacak baris di alun-alun itu, para komandan pasukan, para mantri dan nayaka praja Kadipaten Surabaya, menangis terisak-isak ketika mendengar orasi sang Ratu Pandansari maupun ki Patih Sapanjang.

Ki Sapanjang melanjutkan;” kami tidak hanya rela mati dalam pertempuran nanti, tetapi kami  memiliki semangat untuk terus hidup demi membela Kadipaten Surawesthi, dan siap untuk meluluh lantakkan Giri Kedaton, dan sanggup untuk menangkap Sunan Prapen hidup ataupun mati”

Ratu Pandhansari dan Pangeran Pekik, merasa gembira dan bangga ketika mendengar  sumpah setia para prajurit, hal ini dibuktikan dengan permohonan para prajurit untuk amagut pupuh [1] mangrurah [2] Kedhaton Giri, dan akan menangkap Sunan Giri Prapèn dan menumpas para pemberontak dalam waktu satu hari.

Ratu Pandhansari berkata dengan senyum yang penuh wibawa;” baiklah para prajuritku semua, kalian tidak perlu cemas, dalam perang tanding nantinya, kami juga akan selalu mengawasi setiap gerakan para prajuritku, jika seandainya kalian terpaksa kalah dalam pertempuran, maka kami  juga akan ikut mati bersama di medan pertempuran.

Para prajurit menyatakan siap tempur, dan  ki Sapanjang berkata;” njeng Gusti, paduka sebaiknya duduk manis saja di pasanggrahan, kami yang akan menyeret Sunan Giri Prapèn

Ratu Pandhansari menyahut” baiklah, terima kasih atas  kesetiaan kalian, tetapi yang akan menjadi Senapati dalam pertempuran ini adalah saya sendiri. Dan aku meminta pada kalian, yang berada  dibaris depan adalah Aku dan kakanda Adipati. Kalian semua bersembunyi menunggu isyaratku. Ketika kalian mendengar ledakan pistolku  yang ke tiga kalinya, maka silakan kalian langsung menyerbu, fahami perintahku ini.”

Para prajurit Surèngwesthi segera bergegas, berangkat menuju kota Gresik, semangat juang semakin berkobar, karena melihat pemimpinnya yang berada di baris depan.

.

***

[1] amagut pupuh = perang tanding

[2] mangrurah= menghancurkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun