Hutan Wanabaya
Keadaan di kerajaan Majapahit waktu itu dalam kondisi gawat darurat, situasi semakin tidak terkendali, penjarahan dan perkosaan terjadi dimana-mana. Penduduk di kotaraja tidak berani keluar rumah, apalagi membuka pintu rumahnya.
Ketegangan terjadi diantara masyarakat , mereka saling mencurigai dan juga saling memfitnah, suasana benar-benar mencekam. Banyak penduduk yang ditangkap oleh penguasa baru, korban pun berjatuhan.
Ada seorang bangsawan keturunan Majapahit yang berhasil meloloskan diri, yakni Pangeran kedua yang bernama LembuAmisani, melarikan diri beserta isteri dan seorang anaknya laki-laki bernama Raden Jaka. Mereka menuju kearah barat dengan menunggang kereta. Tentu saja untuk memastikan diri bebas dari kejajran musuh, maka Pangeran Lembu Amisani, mengambil jalur alternative, menerobos hutan jati, tujuannya juga tidak jelas, hanya mengikuti gerak hati dan yang lebih penting adalah keselamatan anak dan isterinya.
Setelah sampai disimpang tiga, Pangeran Lembuamisani mengambil jalan kekanan kearah Pranaraga untuk menemui saudaranya Pangeran Lembu Amiluhur.
Ketika sampai diwilayah Kadipaten Pranaraga kemudian menemui sang Adipati yaitu Pangeran Lembu Amiluhur. Ia diterima oleh kakaknya dan menanyakan kabar tentang pemberontakan Raden Patah. Segalanya diceritakan, termasuk ayahandanya lolos tidak tentu rimbanya, juga Pangeran Pati Raden Gugur tak jelas kemana larinya. Kerajaan sudah diduduki oleh Raden Patah, para putra sentana dan sebagian narapraja melarikan diri. Panjang lebar Pangeran Lembu Amisani mengisahkan kejadian di dalam istana, dengan meneteskan airmata, apalagi jika teringat terjadinya pembantaian di dalam puri.
Setelah tiga hari lamanya di Kadipaten, Pangeran Lembu Amisani mohon diri, dan setelah melepaskan rasa kangennya, kemudian berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Sang Adipati mencegah kemauan adiknya agar tinggal di Kadipaten saja, namun Pangeran Lembu Amisani bersikeras untuk melanjutkan perjalanannya ke arah barat.
***
Pangeran Lembu Amisani isteri dan seorang anak lelakinya yang bernama Raden Jaka, melanjutkan perjalanannya, mencari jalur yang amandari pengamatan musuh, dengan menyusuri hutan, siang dan malam. Perbekalan yang dibawa dari pemberian adiknya , Adipati Pranaraga, semakin hari semakin menipis. Dua ekor kuda pemberian Adipati Pranaraga nampak kelelahan, dan akhirnya kedua kuda itu di tinggalkan lepas di tengah hutan.
Detik berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, perjalanannya sudah memasuki perbatasan wilayah Demak bagian timur. Mereka makan dari makanan yang ditemui di dalam hutan, buah-buahan maupun binatang buruan.
Perjalanan yang ditempuhnya semakin jauh, dan sampai di hutan Wanabaya, kemudian mereka bermukim di situ.
Raden Jaka kian tumbuh dewasa yang memiliki tubuh yang perkasa, sementara sang Pangeran Lembu Amisani semakin banyak melakukan lalaku, mengurangi makan dan tidur, dengan harapan kelak anak cucunya agar menjadi orang yang mulia. Raden Jaka juga mengikuti jejak orang tuanya, mengurangi makan dan tidur apalagi hidup di dalam hutan.
Beberapa tahun kemudian Pangeran Lembu Amisani meninggal dunia, tiga tahun kemudian isterinya menyusul menghadap kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Kemudian mengubah namanya menjadi ki Wanabaya daripada dipanggil Raden Jaka, yang menunjukkan identitas bangsawan. Sejak menggunakan nama Ki Wanabaya, maka terasa lebih nyaman. Hari demi hari Wanabaya membuka perkampungan baru di pingiran hutan, meski pendudukanya belum banyak, namun perkampungan itu nampak sejahtera. Penduduknya bercocok tanam, banyak orang dari jauh yang datang bergabung menjadi warga di desa Wanabaya.
Ki Wanabaya sendiri, masih menjalani lalaku yang masih harus ditempuh dalam waktu yang cukup panjang. Kemudian setelah berpamitan dengan para tetangga, ia meninggalkan desa Wanabaya dan berjalan kearah selatan.
Disitu ada sebuah goa yang bernama Goa Langse dan ia masuk ke dalamnya, iapun melakukan tapabrata. Makan seadanya apa yang ditemuinya, kalau tidak ada makanan ia tidak mau meminta-minta pada penduduk sekitar, hanya minum air sendang. Badannya menjadi semakin kurus, namun auranya menjadi semakin tajam , kepekaan indera nurani menjadi semakin tinggi.
Pada suatu hari, dalam samadinya sekitar jam tiga dinihari, terdengar suara sayup-sayup yang membisiki telinganya ;
” Kulup Wanabaya, pergilah kamu dari sini ke arah barat laut, dan carilah sebuah desa yang bernama Mangir, tinggalah disitu, masuklah agama Islam dan bercocok tanamlah. Di tepian kali Praga jadilah kau seorang petani, dan banyak-banyaklah bersedekah. Karena itu akan membawa berkah bagi keturunanmu, kelak anakmu akan mempunyai sebuah pusaka yang bertuah, tiada seorangpun yang mampu menandinginya….”.
Kemudian Wanabaya membuka matanya dan mencari di sekeliling, ternyata tak ada seorang pun, jadi suara siapa gerangan?
Wanabaya keluar dari Goa dan menuju kepantai selatan, ombaknya yang tinggi dan bergemuruh suaranya, menakutkan sekali karena menghentak-hentak jantung pendengarnya. Wanabaya yang selama berhari-hari tidak mandi, kemudian ia turun ke air, ketika tubuh terhempas ke laut ternyata tidak basah, bahkan ketika mencoba berenang seperti berada di tanah.
Maka ia mencoba berdiri dan layaknya berdiri di tanah, dan mencoba untuk berjalan dan bahkan berlari di atas air seperti layaknya berlari di tanah keras. Wanabaya menjadi semakin heran, tanpa disadari bahwa dirinya kini menjadi orang yang memunyai kelebihan, dibandingkan dengan manusia yang lain.
Kini iapun tidak perlu berenang tetapi berjalan sebagaimana di darat, dengan menjejakkan kakinya ke air, maka seperti lari di atas rumput. Kakinya pun tidak menyentuh air, ia mencobanya berulang-ulang karena masih diliputi rasa heran, mungkin ini hanya kebetulan saja, kemudian ia mengambil selembar daun pisang dilemparkan ke laut dan kemudian ia melompat keatasnya. Sambil berdiri di atas daun pisang ia gerakkan kakinya, daun pisang pun melesat kesana kemari seperti berselancar.
Setelah puas mandi di laut, kemudian Wanabaya melanjutkan perjalanannya menuju ke Parangtritis, kemudian masuk kedalam sebuah goa dan melakukan samadi memohon kepada Sang Penguasa Alam. Dalam kehendaknya hanyalah memuja kepada sang Pencipta, segala resiko bencana dan bahaya yang ada di sekelilingnya tidak dihiraukan.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, ia meninggalkan tempat itu. Pada pagi harinya, ki Wanabaya melanjutkan perjalanannya, sambil melihat ke kanan dan kiri di sepanjang jalan ia melihat bermacam hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah ia lihat. Kemudian sampailah di Parangwedang, dan sebentar lagi sampai di Parangkusuma.
Kemudian istirahat sejenak sambil mengisi perut seadanya, setelah pulih tenaganya ia melanjutkan perjalanannya, sampai didesa Mancungan, ia berhenti sejenak untuk istirahat, setelah kondisi tubuhnya bugar, maka ia melanjutkan perjalanannya selama tujuh hari tujuh malam. Sampailah ia di sebuah goa di dekat sungai Praga, kemudian ia di dalam goa bertapa selama 40 hari 40 malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H