Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [147]

28 April 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:29 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kalau anak ini tidak memiliki kepandaianyang memadai, tentu tidak mungkin dia berani berbuat seenaknya. Dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia. Tetapi  Baruklinting, murid kakek sakti ki Kaladite sudah dengan serta merta mengerahkan hawa saktinya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.

“Wah, julukanmu macan berkepala sembilan, gerenganmu seperti macan pula, dan mungkin tidak hanya menakutkan tetapi benar-benar membahayakan keselamatan jiwa lawanmu . itupun kalau macannya mamsih muda dan kuat memang berbahaya, tetapi kalau macan tua ompong macam kau ini bukan menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau?”

Ditanya demikian, dengan latah orang tua itu menjawab, “Tidak percaya!”

Dia  segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak remaja itu, maka dengan marah dia membentak, “Bersiaplah untuk mampus!”

“Mampus ya mampus, aku ingin melihat apakah macan ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya.”

“Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah kurang ajar!”

“Eh, kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau jangan menyesal kalau nanti kakimu digigit anjing? Baiklah aku menjadi anjing dulu!”

Seketika  itu juga Baruklinting menjatuhkan diri merangkak-rangkak   seperti seekor anjing. Selagi semua orang tertegun heran, tiba-tiba anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing!

Orang-orang yang turut hadir disitu tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu. Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak kecil berkawan denga monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Baruklinting lebih peka daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap “inti” dari suara binatang  hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing hutan.

Mereka yang elihat Baruklinting itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggulnya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Padepokan Mawar Biru yang tidak  tertawa karena mereka   gemas dan marah melihat tokoh ke tiga dari Padepokan Mawar Biru itu dipermainkan oleh seorang bocah!

“Mampus kau anak brengsek…!”

Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur yang didorong oleh rasa marah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, tubrukan yang membahayakan lawannya, karena sasaran terkamannya  adalah tengkuk dan pinggul Baruklinting. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai tulang-tulangnya remuk.

Seperti  gerakan seekor anjing, Baruklinting meloncat menghindar dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati para tokoh Padepokan Mawar Biru. Mereka tahu bahwa Ki Janggarana tadi telah menggunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak.

Seperti  seekor anjing, Baruklinting benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu cepat pula memutar sehingga si kakek iut sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya.

“Huk-huk-hukkk!”

Baruklinting menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya.

“Brettt... aughh...!”

Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing. Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit, terpaksa Baruklinting  melepaskan gigitannya.

“Monyet cilik, akan kubunuh kau!” Ki Janggarana berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar.

Sebelum  kakek ini menyerang lagi, Baruklinting sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet!

“Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!”

Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Baruklinting  sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet.

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Baruklinting benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak mampu bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti ki Janggarana. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali ki Janggarana menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah pada kepala Baruklinting. Bagi  Baruklinting yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenal angin saja.

“Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah tumpul !” Baruklinting mengejek dan raksasa itu makin marah.

Baruklinting  diserang  bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena “manusia monyet” itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini.

Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertarungan yang amat menarik karena kakek  itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul Baruklinting yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Andaikata  Baruklinting belum memiliki banyak ilmu silat tinggi yang   diwariskan oleh ki Ageng Wanabaya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh ki Ageng Kaladite, maka telah dilumat habis oleh ki Janggarna.  Karena  anak ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun