Disebelah  barat laut Gunung Sindoro, atau tepatnya disebelah utara pegunungan Prau terdapat sebuah hamparan tanah datar, tetapi ada dugaan tanah datar itu ratusan tahun yang silam adalah sebuah kepundan yang telah mati. Ditempat  ini dibangun sebuah benteng pertahanan konon dilakukan  oleh Prabu Baka, mungkin dibangun pada sekitar abad IX atau X Masehi.
Di dalam benteng itu terdapat banyak kuil pemujaan dan kuil itu diberi nama Adihyang . tempat ini sungguh elok, jika memandang ke barat nampak gunung Slamet yang menjulang tinggi, jika memandang ke arah utara nampak Gunung Ungaran, ke timur Gunung Merbabu dan Merapi ke selatan gunung Sumbing. Bahkan dari tempat ini pula nampak tanah datar dibawah sana, dataran Menoreh [ Kedu].
Rakyat  desa Wanuatengah menyebut benteng Ratu Baka itu sebagai Keraton, dan itu sangat wajar sekali, karena benteng yang pernah ditinggalkan oleh pemiliknya, yakni Prabu Baka ketika kerajaaannya tertimbun letusan gunung Merapi.
Memang  benteng Prabu Baka di tanah tinggi Adihyang itu  pernah pula dijadikan tempat persembunyian dan ditempati oleh Rajamuda Balaputradewa dari serangan pasukan kakak iparnya yaitu Rakai Pikatan suami Dyah Pramodhawardhani, kakak perempuannya. Rajamuda ini termasuk keturunan wangsa terakhir dalam dinasti Syaelendra, dan perang saudara ini  berakhir dengan kekalahan bagi Raja Muda Balaputeradewa.
Dieng Plateau [foto: dok KITLV Leiden]
Benteng Ratu Baka, kini tinggal puing, kecuali hanya beberapa kuil pemujaan [ Candi] diantaranya adalah Candi Pendawa lima, mungkin karena jumlah kuilnya ada lima. Sebenarnya ada candi lain seperti; candi Suyudana, Candi Drona , Candi Sangkuni dan Candi Semar. Tetapi nama aslinya, memang tidak ada yang tahu. Sebab sudah ratusan tahun benteng itu dibiarkan merana, dan rusak di makan zaman.
Tempat yang  dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah sebuah dataran tinggi, tempat itu sungguh luas dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu, didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan  tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.
Dataran  tinggi Adihyang [ Dhieng] ini, dijadikan tempat penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih seorang Pemimpin, bagi para pengikut golongan hitam se Jawa bagian selatan.  Para tokoh golongan hitam ini telah menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah, sebagai ksatria yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri, tanpa bantuan dari Kerajaan.
Bagi mereka, hukum berada di ujung senjata! Â Karena pemahaman seperti inilah maka sering terjadi benturan sesama golongan hitam, maupun dengan pihak yang anti Kerajaan. Mereka membutuhkan seorang pemimpin. Seorang Ketua yang dianggap mampu untuk menjaga keutuhan para anggotanya, para tokoh persilatan, para pendekar, dan partai-partai peresilatan, golongan hitam yang banyak terdapat di pulau Jawa belahan selatan.
Betapapun juga, mereka sangat membutuhkan  adanya seorang Pemimpin yang berwibawa dan cerdas,  karena tanpa adanya seorang Pemimpin, maka pertikaian di antara mereka sendiri dapat berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya Pemimpin yang kuat dan tangguh, maka segala permasalahan dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik.
Pemilihan umum  tahun ini diselenggarakan oleh Padepokan Nagageni, yaitu perkumpulan yang terkenal di wilayah Menoreh [Kedu]. Dan kali ini, Padepokan Nagageni mengambil prakarsa melakukan pemilihan Pemimpin, bahkan membiayainya sendiri. Karena  perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa terancam kedudukannya oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap menjilat kepada pemerintah.
Kalau mereka yang mengambil prakarsa, maka pemimpin yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka, jadi kegiatan yang akan dilaksanakan ini jelas mempunyai maksud-maksud tertentu, demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Pertemuan  itu merupakan rapat umum, untuk mengkampanyekan diri masing-masing calon pemimpin dengan dalih demi kepentingan umum.   Para undangan yang telah hadir mereka mencari tempat duduk secara bebas, panitia memang tidak menyediakan tempat duduk sebagaimana layaknya perhelatan. Namun mereka telah menyadari semua itu, dengan lapang dada mereka mengambil tempat duduk di sekitar tanah datar  itu.
Ada yang duduk di atas batu, akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadi dengan sikap yang cenderung  jual tampang daripada bersamadi benar-benar, dan ada pula yang bertengger di pohon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H