Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [153]

4 Mei 2013   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ki  Darpasura sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Baruklinting, temtu saja sebagai  orang pertama dari Tiga Datuk dari Nusakambangan ini memiliki tenaga peringan tubuh yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran angin yang kuat dan kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Baruklinting!

Kini Baruklinting tidak berani lagi main-main seperti ketika menghadapi tokoh Padepokan Mawar Biru tadi,  Ki Darpasura telah menyerang  sedemikian hebatnya.

Menghadapi serangan seperti itu, reaksi Baruklinting refleks sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Sitrul ambyak sepenuhnya.

“Plakk...! Aihhhhh...!”

Orang pertama dari Tiga Datuk dari Nusakambangan itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan hawa saktinya membanjir keluar keluar.

Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu, ketika mereka secara bersama-sama  menyerang Ki Kaladite.  Dan  kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan.

Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Baruklinting sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah ki Darpasura berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Sitrul Ambyak!

Bocah Setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Wanabaya?”

Tiba-tiba Ki Darpasura  itu membentak dan memandang kepada Baruklinting dengan mata melotot penuh kebencian. Baruklinting heran mendengar ucapan ini, tetapi dia juga marah karena kakeknya dimaki keparat.

Dia tidak menjawab, kini Baruklinting sudah menggerakkan  kedua tangannya secara perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada ki Darpasura   sedangkan tangan kanannya sudah menyerang dengan tusukan satu jari pada jalan darah di  lambung ki Jathasura.

Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Sesungguhnya  tidaklah demikian. Baruklinting ini telah mewarisi tenaga pranasakti dari Paderi Sakti dari Gunung Marapi dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh ki Kaladite  yang menjadi “kakak seperguruannya” dan juga mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab  aneh Panembahan Boga Sampir dari Candi Gedongsanga di bukit Tedeng, lereng selatan Gunung Ungaran.

Selama  ini, tanpa diketahui orang, Baruklinting telah mencapai kemampuan tingkat tinggi, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung angin  pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa  oleh dua orang kakek itu  angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

“Aihhh!”

“Ohhh...!”

Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa sakti itu. Mereka  menjadi marah, dengan cepat balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan yang mematikan, karena ki Darpasura sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Baruklinting sedangkan Ki Jathasura sudah memukul dengan pukulan beracun.

Ki Jathasura ini, memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan dengan bau amis, yang menyambar ke arah lambung Baruklinting.

Baruklinting menyadari bahwa dua orang tokoh  golongan sesat dari pantai selatan itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh  Sitrul Ambyak,   maka diapun tidak lagi mempergunakan Sitrul Ambyak.

“Manusia-manusia curang!” bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan itu.

Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!

Ki Darpasura kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini ki Suragentho juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.

“Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan ki Wanabaya?” bentak ki Darpasura. Baruklinting yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang.

“Pendekar sakti Wanabaya adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!”

Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci ki Ageng Wanabaya dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya.

Pendekar  sakti Wanabaya, dimasa mudanya berjodoh dengan seorang wanita bernama Sindung Premati, dan wanita itu waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di kawasan selatan, yaitu Ki Sanggabuwana!

Karena Tiga Serangkai dari Nusakambangan itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang ki Sanggabuwana, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sindung Premati sebagai kakak seperguruan mereka,  dan tentu saja mereka membenci pendekar Wanabaya yang dianggap telah menyelewengkan kakak seperguruannya, sehingga Sindung Premati itu meninggalkan dunia hitam.

Mendengar    ki Wanabaya yang telah menjadi ketua Padepokan persilatan Gunung Merbabu, apalagi ilmunya yang disebut Sitrul Ambyak, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami kakak seperguruannya, sebegitu jauh Tiga Serangkai dari Nusakambangan tidak pernah mencari atau memusuhi ki Ageng Wanabaya yang mereka benci.

Tetapi  kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu Sitrul Ambyak itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Baruklinting dengan serangan-serangan yang dahsyat dan mematikan.

Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Baruklinting, apalagi dia telah secara langsung mendapatkan tenaga sakti dari Panembahan Marapi, dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Ki Ageng Wanabaya,

Kemudian  telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib Panembahan Boga Sampir dari Candi Gedongsanga di bukit Tedeng lereng selatan  Gunung Ungaran, atas mimbingan ki Ageng Kaladite. Namun karena usianya yang masih terlalu muda, baru enam belas tahun, meskipun di dalam tubuhnya telah bersemayam tenaga sakti yang luar biasa, tentu saja dengan pengalamannya yang masih hijau, dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya apalagi dia masih kurang matang dalam latihan.

Padahal, tiga orang yang mengeroyok Baruklinting adalah tokoh-tokoh dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak pengalaman dalam pertempuran. Meskipun dengan gerakan aneh Baruklinting mampu menangkis tiga serangan lawan itu sekaligus,  namun tetap saja Baruklinting juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, dengan salto beberapa kali. Baruklinting telah kembali berdiri  tegak, namun sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun