Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting 138

20 April 2013   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:55 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ki Jathasura kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang anak remaja dan meskipun dia tahu bahwa anak remaja itu memiliki tenaga dalam yang kuat dan ilmu silat yang aneh, namun gerakan remaja ini masih mentah. Maka ketika dia melihat Baruklinting mendesak, dan menghantam, dia sengaja mengerahkan tenaga dalamnya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

“Plakk...! Aahhhhh...!”

Ki  Jathasura berteriak keras, karena terkejut tangannya melekat ketika bertemu dengan lengan anak remaja itu.  Kemudian  dengan serta merta menarik tangannya yang melekat pada lengan Baruklinting, namun apa yang terjadi?   mendadak dia merasakan bahwa tenaga dalamnya membanjir keluar, melalui telapak tangan, dan terhisap oleh lengan bocah itu!

Ki  Jathasura semakin  berusaha untuk menarik kembali tangannya sambil mengerahkan tenaga saktinya, tetapi celakanya, semakin dia mengerahkan tenaga pranajati, maka makin banyak tenaganya yang terhisap!

Melihat wajah temannya yang terbelalak matanya dan pucat mukanya itu, ki Suragentho terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka diapun menerjang dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah Baruklinting.

Pada waktu itu, Baruklinting kepekaan tubuhnya sudah mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ki Kaladite, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan mengegoskan tubuhnya, dia mengelakkan  pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

“Plakkk!”

Dan kini tangan ki Suragentho menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali , tangannya melekat dan tenaga dalamnya membanjir keluar seperti yang dialami oleh ki Jathasura.

Kedua  orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari pantai selatan yang sangat disegani, lagipula memang mereka memiliki kepandaian yang hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga hisap yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian ki Jathasura berkata, “adi, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!”

Celaka , makin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga dalam untuk menarik tangan mereka, semakin hebat pula tenagadalam  mereka membanjir keluar, seperti air bah terjun ke samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali.

Dan pada saat itu, ki Kaladite menotok ke arah pundak Baruklinting  sambil membentak, “Lepaskan!”

Baruklinting terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan ke dua orang yang tadi melekat kepadanya terlempar beberapa tombak ke belakang.

Ki Darpasura terkejut bukan main, dia mengira bahwa kepandaian ki Kaladite  memang hebat bukan kepalang. Melihat dua orang temannya sudah terluka dan dirobohkan dia lalu membungkukkan badan memberi hormat.

“Lain kali kita bertemu kembali,” katanya dan dia lalu menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.

Sejenak Ki Kaladite berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Tiga Serangkai tetua dari Nusakambangan, kemudian dia menoleh dan menghadapi Baruklinting yang masih berdiri, lalu dia merangkul Baruklinting dan... menangis!

Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak sehingga Baruklinting menjadi bingung sekali.

“Kakek yang budiman, kenapa kau menangis? Kenapa...?” tanyanya berkali-kali.

Dan  Baruklinting membiarkan kakek itu merangkulnya sambil menangis, dia merasa betapa pundak kirinya menjadi basah oleh air mata kakek cebol itu. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya,lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main. Akhirnya dapat juga dia bicara.

“Ah, tak kusangka bahwa malam ini seorang Kaladite diselamatkan oleh seorang bocah ingusan...” Baruklinting memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

“Dan mengingat betapa aku menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak memperdulikannya dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tak kusangka malam ini dia telah menyelamatkan nyawaku, hati siapa takkan terharu?”

Mendengar ini, Baruklinting baru mengerti , merasa heran dan juga geli. Kakek yang sakti dan kepandaian silatnya  luar biasa kini seperti anak kecil saja. “kakek yang baik, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh kakek.”

Kakek itu melompat dan berjingkrak. “Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah dewa penolong bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu….?”

“Namaku Baruklinting...”

“Hebat! Sebuah nama yang luar biasa? Memang hebat dan tepat sekali Baruklinting!”

“siapa nama orang tuamu?”

“Aku... aku tidak tahu.”

“Justeru karena tidak tahu itu maka engkau diakui sebagai cucu...”

“Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kakek...”

“Kalau bukan kakekmu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi ilmu sakti Sitrul Ambyak? Yang kau pergunakan tadi adalah Sitrul Ambyak, bukan? Hayo kaucoba terima ini!”

Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Baruklinting, bukan main kagetnya Baruklinting melihat pukulan yang cepat dan kuat ini.

Dengan reflek dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan saat itu pula dia mengerahkan tenaga Sitrul Ambyak yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia “minum” tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

“Plakk!”

Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Baruklinting dan seketika tenaga dalamnya tersedot!  kakek cebol itu cepat melepaskan tarikan hawa saktinya dan ternyata daya lekat itupun lenyap.

Memang demikianlah keistimewaan Sitrul Ambyak.  Kalau yang menyerang pemilik Sitrul Ambyak itu tidak menggunakan tenaga hawa sakti, maka dia tidak akan melekat dan tersedot.

Ki Kaladite memang telah dengan sengaja  bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang ki Ageng Wanabaya, dan diapun sudah mendengar akan keistimewaan Sitrul Ambyak yang dimiliki pendekar Gunung Merbabu itu.

Maka dengan tekun  dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu caranya untuk menghindarkan diri dari Sitrul Ambyak. Selain melepaskan diri dengan menyimpan hawa saktinya, dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga simpul  syaraf di bagian itu tergetar sehingga dia dapat melepaskan diri dari hisapan Sitrul Ambyak..

“Memalukan! Memalukan sekali!” Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Baruklinting.

“Apa yang memalukan, kek…?”

“Kau…!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun