Tiga Serangkai dari Nusakambangan itu, kini telah berdiri dengan mata terbelalak dan rasa takjub. Mereka telah kenyang menjelajahi dunia persilatan, namun belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan seperti remaja ini.
Ki Darpasura mengalami sendiri betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, terpental membalik menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan.
Rasa heran ki Darpasura masih menyelimuti dirinya, rasa ketakjubannya itu karena anak ini telah memiliki tenaga sakti yang luar biasa kehebatannya. Sungguh aneh sebuah tenaga pranasakti yang dapat bergerak dengan sendirinya melindungi tubuh anak itu dan membuat tongkatnya menyerang balik pemiliknya.
Maka dia semakin bersikap hati-hati dan mengepung bersama dua orang adik seperguruannya. Keadaan menjadi semakin seru karena semua orang yang berada di situ baru terbuka mata mereka, bahwa anak remaja yang kelihatan tolol itu ternyata seorang anak yang luar biasa. Bahkan Tiga tokoh dari Nusakambangan yang sudah punya nama di kalangan golongan hitam, terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!
Pertandingan di atas panggung itu benar-benar luar biasa, semua orang yang hadir menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Karena siapapun dari mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, mereka memang berusaha keras untuk membunuh anak remaja yang mengaku sebagai murid dari Padepokan Gunung Merbabu itu.
Mereka yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Padepokan Gunung Merbabu yang dianggap sebagai lawan, tetapi sikap anak remaja itu menarik rasa suka di hati mereka, sehingga meski mereka tidak memihak secara terang-terangan, namun mereka mengharapkan kemenangan di fihak anak remaja itu.
Sementara itu, para tamu wakil-wakil dari Padepokan Watugilang, Perguruan Monyet Putih, dan lainnya saling pandang dan tidak berani turun tangan karena selain tiga orang dari Nusakambangan itu merupakan tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan anak murid Padepokan Gunung Merbabu itu.
Tadinya, orang-orang gagah,seperti para wakil padepokan Watugilang, dan Monyet Putih, memang sudah bersiap-siap untuk menolong anak remaja itu karena mereka tidak akan membiarkan seorang anak remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu.
Ketika menyaksikan gerakan-gerakan Baruklinting, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, karena ternyata bahwa anak remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa. Dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas apalagi tingkatannya masih rendah dibandingkan dengan kepandaian remaja itu atau tiga orang pengeroyoknya.
“Hyaaaaattt... aihhh!”
Seruan yang keluar dari kerongkongan ki Jathasura ini hebat bukan main.
Orangnya sih kecil pendek saja, ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya.
ki Jathasura adalah orang ke dua diantara Tiga serangkai dari Nusakambangan ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Baruklinting. Gerakannya seperti seekor naga terbang dengan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan tangan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Baruklinting.
Meskipun Baruklinting selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari sebatas teori dan latihan terbatas saja. Anak itu sama sekali belum pernah menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi serangan lawan. Sebenarnya anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan, seringkali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan alam yang mengerikan.
Maka diapun memiliki keberanian dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, menghadapi serangan yang demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mengikuti gerak refleks yang timbul dari kewaspadaannya.
“Hemmm...!”
Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan hawa sakti yang menggetarkan dari teriakan ki Suragentho, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul tusukan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya, yang telah dilambari dengan hawa sakti.
“Aihhhh...!” ‘
Ki Darpasura menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh.
Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan meski dia mampu mengubah gerakannya, namun terlambat karena tusukan itu meluncur terus, agaknya tak dapat dielakkannya lagi.
“Celaka!” teriaknya.
Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib Panembahan Boga Sampir yang dipelajarinya dari ki Kaladite.
Baruklinting rupa-rupanya telah mampu meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ki Kaladite diberi nama Langkah Tiga Belas Penakluk Iblis. Karena memang jurusnya hanya berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga ki Kaladite sendiri tidak sanggup mempelajarinya!
ki Darpasura bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, ki Suragentho yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh anak remaja itu, kini telah mengayunkan golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Baruklinting dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
“Wuuuutttt...!” Singggg...!”
Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.
“Krekkk...! Takkk...!”
“Ahhhh...!”
“Heiii...!”
Ki Darpasura dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Ki Jathasura dan Suragentho terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan ki Darpasura memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan ki Jathasura juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!
Kiranya, jari telunjuk Baruklinting yang mempergunakan tenaga Kundalini, yaitu tenaga yang dia peroleh dari “ transfer energi ” Paderi Sakti dari Gunung Marapi Sumatera Barat itu secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok ki Jathasura mengenai lengannya, golok itu terpental dan membalik.
Tenaga Kundalini dari Paderi Sakti memang merupakan tenaga dalam yang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.
Tiga orang Datuk dari Nusakambangan itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Baruklinting yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, “Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H