Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting 129

10 April 2013   08:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bab 16.  Ki Ageng Kaladite

Dalam pada  itu, keluarga besar padepokan Gunung Merbabu sedang berduka, kedukaan dan keharuan mereka kembali dibangkitkan  oleh kedatangan Glagah Wangi.  Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek cebol itu.

Hanya Baruklinting saja yang sejak tadi memperhatikan kakek aneh ini, hadir di antara para tamu. Baruklinting merasa terkejut melihat keanehan bentuk tubuh kakek ini sangat berbeda diantara para tamu, sehingga Baruklinting diam-diam memperhatikan gerak-gerik kakek itu, ketika  menghampiri Trebela Ki Ageng Wanabaya. Kakek cebol itu berjalan dengan langkah-langkah yang pendek dan lucu. Tamu  aneh ini hanya berdiri tegak di depan Trebela ki Ageng Wnabaya dan tiba-tiba dia mengeluarkan ucapan yang cukup lantang.

“Wanabaya, engkau sungguh seorang pengecut! Setelah susah payah puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan kini datang menemui di padepokanmu, ternyata kini engkau melarikan diri melalui pintu kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam Trebela ini, hatiku selamanya akan merasa penasaran!”

Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Gunturgeni dan Glagah Wangi dengan sinar mata berapi karena marahnya, sudah meloncat berdiri dan menoleh ke arah kakek cebol yang aneh itu.

Sebelum  mereka sempat bergerak, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan terdengar suara gerengan aneh seperti seekor binatang buas, disusul teriakan, “Jangan ganggu jenazah kakekku!”

Penyerangan yang dilakukan oleh Baruklinting menyusul teriakannya itu mengejutkan ki Kaladite. Tak disangka olehnya bahwa anak yang tadi bersila di dekat Trebela, tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas. Kaladite melihat anak itu memiliki tenaga sakti yang luar biasa, serangan  terkaman kedua tangannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya.

Kaladite kaget, dan juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada ki Ageng Wanabaya, maka sekarang dapat menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya. Maka dia mendiamkan saja anak itu menyerangnya, kemudian setelah terkaman semakin dekat, mendadak dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Baruklinting.

“Dess! Desss!”

Kedua pukulan tangan Baruklinting  itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, tetapi alangkah kagetnya Baruklinting, ketika merasa betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilempar ke dalam air. Tenaganya amblas, lenyap  pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan membuat tenaga pukulan buyar, dan tahu-tahu dia sudah tertangkap dan dicengkeram pundaknya.

Ketika Baruklinting mengerahkan tenaga saktinya, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan darahnya kesemutan menjadi kacau, dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi!

“Jahanam berani engkau mengacau di sini!”

Gunturgeni  membentak sambil meloncat, dia  melancarkan pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu. Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit, Kaladite terkejut dan kagum. Hebat ! pikirnya dan dia mengibaskan tangan kirinya. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan biarpun kakek cebol itu berhasil menangkis pukulan Gunturgeni, namun dia terkejut karena tangan kirinya tergetar.

Pada saat itu, terdengar bunyi lengking nyaring dan Pandansari sudah menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh menerjangnya! Diapun cepat menggerakkan tangan kirinya mengibas dan kembali pukulan Pandansari yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat ditangkisnya, dan juga sekali ini Ki Kaladite terkejut karena wanita cantik itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang pertama.

“Kisanak, siapa engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan ki Kaladite makin kaget karena tahu-tahu suara itu telah berada di belakangnya dan ketika dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahsyat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya.

Ternyata orang inipun luar biasa, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat!

Kakek cebol itu cepat mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah ringan dan pandang mata penuh kemarahan, dia menjadi jerih juga.

Bukan main, pikirnya. Keluarga Padepokan Gunung Merbabu ini memang hebat! Kalau hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Kalau  harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang memiliki kepandaian seperti mereka, biarpun dia sudah memiliki kesaktian hebat, akhirnya dia yang akan celaka.

“Haaaa…haaaaa…..haaaa! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak ini!”

Dia mengangkat tubuh Baruklinting dan mempergunakan tubuh itu sebagai perisai. Gajah Ngoling yang tadi merupakan penyerang terakhir, menghentikan langkahnya dan demikian pula Gunturgeni, Pandansari dan Glagahwangi.

Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Meski  tidak senang kepada Baruklinting, tetapi mereka melihat bahwa Baruklinting adalah orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi sudah berhasil merusak jenazah kalau tidak dihalangi dan diserang oleh Baruklinting, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menjadikan Baruklinting, sebagai perisai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun