Setelah menerima titah sang Raja, ki patih menugaskan wimbasara untuk memanggil kedua orang asing yang aneh itu, kemudian dengan segera dihadapkan kepada sang Raja. Kedua orang yang sedang menyamar itu, sudah menghadap pada Raja Rumi.
Sultan Agung sudah duduk di depan, menghadap sang Raja, hanya Sekh Jangkung yang masih berdiri di belakang, kemudian oleh ki Patih dipersilakan untuk duduk di depan di dekat Sultan Agung.
Sang Raja bertanya ;” Wahai kisanak, kalian datang dari negeri mana, agaknya bukan rakyat di negeriku. Dan apa tujuanmu kemari ?”
Sultan Agung menjawab” kami dari tanah Jawa kerajaan Mataram, disini kami sedang mencari belalang untuk makanan burung puyuh kepunyaan Raja Mataram yang bernama Sultan Agung. Di negeri Mataram serangga belalang persediaan untuk makanan burung puyuh piaraan Sultan Agung sudah habis. Oleh karena itu kami diperintahkan untuk mencari kemanapun negeri yang ada belalangnya. Nah kebetulan ketika kami mendengar informasi bahwa di negeri Rum ini banyak belalangnya, maka kami melakukan perjalanan jauh, untuk mengumpulkan belalang.
Sang Raja bertanya lagi” berapa lama perjalanan kalian dari tanah Mataram hingga ke negeri Rum ini?”
Sultan Agung menjawab” tadi pagi sebelum matahari terbit kami berdua berangkat dari Mataram, sampai di negeri ini sekitar jam sepuluh pagi tadi.“
Sang Raja menjadi heran, kemudian bertanya lagi “ Sultan Agung Mataram yang terkenal itu, berapa tingi badannya, katanya sangat berwibawa. Kalau dengan aku tinggi siapa?”
Sultan agung menundukkan kepala dengan takzim, dan tidak menjawab.
“ besok aku akan menyerbu ke Mataram, saya akan mengutus patihku dengan dikawal prajurit secukupnya. Kalau kalian pulang nanti, sampaikan pesanku pada Rajamu supaya membuat benteng yang kuat. Dan juga prajuritnya yng paling hebat supaya menjaga pintu gerbang utama. Kelak jangan ada yang mengecewakan angkatan perang dari negeri Rum”
Sultan Agung menjawab” sebaiknya begitu tuanku, jika nanti saya sudah kembali ke Mataram, saya akan sampaikan pesan paduka. Lagipula Raja Mataram itu, orangnya tidak punya rasa gentar dalam menghadapi musuh, darimana pun dan siapa pun mereka. Dan bahkan Sinuhun Mataram itu lebih senang, jika paduka mengerahkan pasukan sebanyak mungkin. Karena memang Raja Hamba tidak pernah merasa takut dengan kekuatan musuh seberapapun banyaknya. Juga beliau tidak pernah mengungsikan penduduknya, justru malah senang sekali kalau ada musuh yang menyerang. Sultan Mataram lebih senang melawan Negara-negara besar apalagi mendapat lawan dari negeri Rum sungguh senang. Di Tanah Jawa tidak ada raja kecil yang memberontak, semua takut kepada Sultan. Tiap rakyatnya itu tidak gentar menghadapi lawan yang sakti. Jangankan Raja kami, hamba yang hanya seorang abdinya, juga tidak gentar seandainya diijinkan melawan paduka.!”
“kalau tuanku ingin melihat seberapa besar badannya Rajaku, tidak beda jauh dengan hamba, mungkin sama tinggi, besarnya sama.”
Sultan Agung masih memancing amarah raja Rum“ kalau ada kesulitan di kerajaan kami, apalagi musuh, maka kami yang menghadapi, kalau kami berdua kalah. Raja kami juga akan menyerah”
Sang Raja Rum menjadi merah matanya, karena marah dihina, dilecehkan oleh orang yang berpakaian pengemis itu. Orang itu merendahkan martabatnya, karena kekalahan dia adalah takluknya sang Raja.
“ Patih, tangkap kedua gelandangan ini, ikat ke dua tangannya. Bawa ke alun-alun berikan hukuman gantung pada kedua orang itu, yang telah menghina Raja.”
Patihsegera beranjak dari tempat duduknya, dan akan menelikung kedua tanganSèkh Jangkung, begitu tangan ki Patih akan menangkap pergelangan tangan Sèkh Jangkung maka Sekh Jangkung memutar kopyahnya dan ki Patih terpelanting di lantai.
Sang Raja Rum juga akan menubruk Sultan Agung, dan kopyahnya juga diputar seperti yang dilakukan Skeh Jangkung, maka sang Raja pun terpelanting, mukanya menghantam lantai. Kedua orang Raja dan patih itu, terkapar di tanah dan berputar seperti gasingan.
Raja Rum melawan Sultan Agung, Adapun Patih nya melawan Sekh Jangkung, namun Sultan Agung maupun Sekh Jangkung masih memutar-putar kopyahnya seperti sedng bermain-main.
Sedangkan para punggawa yang turut hadir dibangsal Pagelaran, terutama yang duduk di deretan depan seperti ;para bupati, satriya,tumênggung, dêmang,mantri, arya, rangga santana,semuanya cuma bergumam tidak berani mengambil sikap untuk menolong Rajanya dan ki Patih.
Kemudian Raja Rum dan Patih bertobat dan minta ampun, tubuhnya babak belur terbentur tiang. Sultan Mataram maupun Sekh Jangkung merasa kasih kepada kedua pejabat itu, kemudian kopyahnya dipakai kembali, dan kedua orang itu duduk sambil memegangi kepalanya. Setelah merasa nyaman Sang Raja maupun Patih menubruk Sultan Mataram akan melakukan sembah, namun dengan cepat Sultan meraih kedua tangan Raja Rum diajak berdiri, demikian pula ki Patih.
Setelah itu, Sultan Agung dan Sekh Jangkung dipersilakan masuk ke dalam Istana sang Raja, dan telah disajikan hidangan yang bermacam-macam, sambil makan sang Raja menanyakan jati diri tamunya yang yang sedang menyamar ini.
“ Paduka Raja, sebenarnya hamba adalah Sultan Mataram itu, sedangkan teman hamba, sebenarnya kakak ipar.”
“ kalau begitu, niatku menyerang Mataram aku batalkan saja, bukankah kita sudah bertemu disini, lagi pula bukankah tadi hamba Raja Rum dengan disaksikan oleh para nayaka praja kami, sudah menyatakan takluk pada paduka Sultan Agung di Mataram!”
Sultan Agung menganggukkan kepala, sambil tersenyum.
“bukankah kita, sekarang ini sudah jelas menjadi sahabat?”
“ tentu Kanjeng Sultan, dan itu sampai anak cucu paduka, tetap menjadi sahabat.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H