Sunan Giri Prapen menjadi tawanan perang
Dikisahkan, Pangeran Pekik bersama Ratu Pandhansari naik ke padepokan Giri Kedhaton, para prajurit dari Surabaya dan Mataram sudah mengepung keluarga Sunan Prapen, ketika itu Nyai Ageng keluar dari rumah tinggalnya, sambil menangis memilukan, melewati barisan prajurit yang mengamankan rumah tinggal Sunan Prapen.
Nyai Ageng menerobos barisan pasukan yang sedang berjaga-jaga di halaman pendapa Giri Kedaton , dengan jalan jongkok hingga ke pendapa segera memberikan sembah dan mencium kaki Adipati Surabaya, dan memohon sambil menangis, terisak-isak ;” Gusti junjungan hamba, paduka telah berkenan mengunjungi padépokan Giri, beribu terima kasih bagaikan berkubang di telaga bunga, keturunan Raja yang dimuliakan, dan menjadi mustikaning bumi, yang berkenan datang sarimbit. Ampunilah hambamu ini, seorangpanembahan di Giri , jangan sampai mendapatkan hukuman mati, itulah permohonan hamba.Sungguh putra paduka di Giri telah tergiur bujuk rayuSenapati Endraséna yang datang ke tanah Jawa, sehingga membahayakan keseluruhan, terutama Kanjeng Sunan. Endraséna datang ke Jawa menjadi penguasa di padhépokan dengan niat untuk mengimbangi kekuasaan dan penguasa tanah Jawa, yang sangat merugikan Kanjeng Sunan Prapen.Sebenarnya putra paduka tidak ada niat untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan, lagipula apa yang digunakan sarana untuk melakukan pemberontakan. Itulah permohonan hamba, mohon paduka mempercayai ucapan hamba.”
Pangeran Pekik menjawab dengan lembut ;”tidak perlu khawatir dan cemas, jika sekarang sudah sadar dan terutama hatinya bersedia untuk mengakui kedaulatan Mataram serta bersedia untuk menyerahkan diri takluk, hidup dan matinya kepada njeng Sultan Agung. Jika menurut maka tidak akan dihukum mati, namun jika tetap saja berkeras hati maka semuanya tinggal namanya saja tumpes tapis, dibabat habis sampai ke akar-akarnya, Giri kedaton akan kubuat rata dengan tanah. Aku tidak menyangka akan terjadi perang seperti ini, bukankah sebelumnya sudah aku peringatkan, tetapi tak mendapatkan tanggapan. Sudahlah, suamimu suruh keluar dan batinnyapun juga ikhlas untuk menyerah, kalau masih merasa setengah hati maka kami akan segera meluluh lantakkan Giri Kedaton. Cepat suruh keluar suamimu jangan membawa senjata.!”
Nyai Ageng Giri pamit mundur, Pangeran Pekik bersama Ratu Pandhansari, menunggu di halaman.
Adalah nyai Ageng Giri setelah mendapatkan penjelasan dari Pangeran Pekik, selanjutnya masuk ke padepokan dan bersembah pada Sunan Giri Prapèn, sambil menangis mengatakan semua permintaan dari Pangeran Pekik dan dijamin keselamatannya, jika melawan maka Giri akan dilibas habis. Dan ketika menghadap sang Adipati tidak diperkenakan membawa senjata.
Sunan Giri Prapèn tergetar hatinya mendengar penjelasan Nyai Ageng Giri, hatinya merasa terharu, kemudian segera berganti pakaian, dan keluar ke halaman pendapa tanpa membawa sebilah senjata, hanya memegang tongkat.
Setelah berhadapan dengan Pangéran Pekik, dengan tertatih-tatih Sunan Prapen, setelah berjabat tangan kemudian mengusap kaki sang Adipati, sebagai tanda menyerah, kemudian duduk dilantai, dengan wajah menunduk tidak berani menatap wajah sang Adipati.
Berkata sang Dipati Surabaya;” sekarang akhir daripada kejadian ini bagaimana kehendakmu, berusahalah dengan sekuat tenaga, jangan sampai dua kali bekerja, sekarang akan melawan atau menyerah ? jika menyerah, sekarang kalian aku bawa ke Surabaya seluruh keluarga mu maupun seluruh harta bendamu, bahkan semua prajuritmu tidak ada yang terlewatkan. Kemudian kalian aku bawa menghadap Sultan Mataram , dan aku sendiri yang akan mengantarkannya“
Sunan Giri Prapèn menjawab;” hamba pasrah Gusti, mengikuti kehendak paduka, betapa pun kami sudah menyerah sebagai pesakitan tawanan perang, namun hamba hanya memohon ijinnya sang Raja, bahwa mengingat ilham dari yang Maha Kuasa, dunia menjadi terbalik kelak yang luhur menjadi hina, tetapi tidak akan menghapus sarasilahnya setelah hamba kelak tersingkir.”
Pangéran Pekik setelah mendengar ucapan Panembahan Giri, dalam hati menjadi cemas, dan berkata; ”tidak perlu khawatir, aku yang akan bertanggung jawab atas segalanya, dan percayalah kepada Yang Maha Kuasa, nah sekarang segeralah mengenakan pakaian yang bagus.”
Panembahan Giri sigra lèngsèr , kemudian segera bergegas ganti pakaian yang terbagus, setelah itu dengan menunggang kuda, dan dikawal oleh pasukan Mataram siap berangkat menuju ke Surabaya.
Salah seorang prajurit ada yang berbisik pada sang Pangeran “ sebaiknya Sunan Giri nanti, ini kalau diperkenankan dianggap kecelakaan dan meninggal, dalam perang campuh di Giri Kedaton. Karena perang ternyata sangat merugikan diberbagai pihak, terutama rakyat kecil. Mengganggu ketenteraman Negara, menggoncangkan pemerintahan, dan banyak kawula yang meninggal. Katanya beliau itu sudah kondang, terkenal, bahkan tingkat keimanannya pun sudah mencapai tataran tertinggi, tetapi mengapa beliau merasa tidak rela jika ada kekuasaan lain yang mengunggulinya. Mungkin beliau ingin menguasai kedudukan sebagai penguasa di Tanah Jawa ini. Ini sebuah moment yang bagus Pangeran, kebetulan beliau ada dalam barisan, dan di depan, bagaimana jika ditembak dari belakang saja, kanjeng?”
Pangéran Pekik menjawab dengan bijak ;“ucapanmu semuanya benar, karena sudah menyerah bisa saja dibunuh, tetapi sabda dari Kangjeng Sultan Agung, aku tidak diberi wewenang untuk menghakimi sekecil apapun tindakanku. Itu bukan hak dan kewenanganku, dalam ramalan para nujum dahulu itu memang belum saatnya. Kelak akan ada yang akan meluluh lantakkan Giri Kedhaton, yaitu keturunan njeng Sultan Agung, yang campur dengan darahku.
Semua prajurit terdiam seribu bahasa, meski hatinya merasa kecewa, memang akan menjadi puas ketika kehendaknya itu terlaksana.
Prajurit Surabaya yang menjaga rumah tinggal dan pondok pesantren Sunan Giri, menurut keinginan kanjeng Ratu Pandansari, setelah dikumpulkan dan dihitung jumlahnya boyongan harta benda jarahan, akan segera diberangkatkan.
Sunan Giri memberitahu pada Pangéran Pekik ;” ketahuilah tuanku, masih ada yang kurang yaitu tiga anakku, Jayèngresmi, Jayèngsari dan Nikèn Rancangkapti. Karena ramainya pertempuran, sehingga ketiga anak hamba lolos dari Giri Kedaton. Hamba akan marah, jika ketiga anakku tidak dicari dan ditemukan!”
Pangéran Pekik kemudian memerintahkan prajurit Surabaya;” wahai prajurit Surabaya, aku perintahkan kepada kalian, carilah sampai ketemu ketiga putr putri Sunan Giri Prapèn yang bernama Jayèngresmi, Jayèngsari dan Niken Rancangkapti, jika sudah ditemukan maka bujuklah sampai berhasil, dan bawalah menghadap ke Mataram, dan jika terpaksa melawan, jangan cemas dan ragu-ragu untuk mengatasinya, jika merasa berat hati maka laporkan kepadaku"
Patih Sapanjang segera menugaskan prajurit pengalasan, dan disebar ke semua penjuru untuk mencari dan menemukan radèn Jayèngresmi, Jayèngsari lan Nikèn Rancangkapti, yang tidak jelas kemana larinya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H