Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemberontakan Sutawijaya [4]

3 Desember 2012   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:17 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Tumenggung Mayang dan isterinya setelah menyaksikan mayat anaknya yang di buang di sungai laweyan dianggap seperti binatang, dalam hatinya merasa terharu dan menyesal atas perlakuan pada putranya sendiri.Namun demikian, se jahat-jahat hati orang tua tidak mungkin sampai hati melihat anaknya dianiaya oleh orang lain, tega larané ora tega patiné.

Kemudian Ki Tumenggung segera memerintahkan beberapa orang untuk mengambil mayat serta merawat jenazah Pabelan, dan di kebumikan dengan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu Tumenggung Mayang membuat nawala, untuk disampaikan kepada Senapati ing Ngalaga di Mataram, ia menulis sebagai berikut;"kangmas bekti kula katura panduka yekti, wiyos kula, kangmas ngaturi upeksi , putra tuwan pun Pabelan pinejahan Kanjeng Sultan Pajang wonten jroning pura nalika lambang asmara kaliyan dyah retna Murtèningrum inggih sekar kedhaton "(KandaSenapati, sembah baktiku, memberitahukan bahwa anakmu si Pabelan telah dibunuh oleh Sultan Pajang, di dalam kaputren, ketika sedang bercinta dengan putri sekar Kedaton).

Perjalanan utusan ke Mataram tidak diceritakan; setelah membaca surat dari Tumenggung Mayang, Senapati ing Ngalaga hatinya tertegun, dalam hati mengatakan akan melakukan pemberontakan pada Pajang, lagi pula cukup alasan karena sudah beberapa pisowanan memang tidak pernah hadir.

Selanjutnya Senapati minta nasehat kepada ki Juru Martani.Sebagai  yang sudah waskita ing semu, ki Juru Martani mengetahui apa yang ada dalam pikiran Senapati ing Ngalaga, maka Jurumartani dengan pelan memberi nasehat;"nggèr jebeng Senapati, kagagas ing nalanira apan sumedya wani, sasolahé masang, amrih nuli katura mring kanjeng Sri Narapati, karya jalaran Sultan wus owah ing janji "(Senapati, aku tahu yang ada dalam hatimu yaitu kamu berniat berani menentang Sultan Pajang, tetapi kalau kau bergerak setiap gerakmu telah terdeteksi,  jadi bukan dengan cara itu, tapi buatlah masalah yang menjadi kelemahan Sultan, yakni telah ingkar janji) .

Senapati terdiam beberapa lama, merenungkan ucapan pamannya ki Juru Martani,  bumi Mentaok sudah diberikan lagi pula kini sudah menjadi daerah perdikan jadi alasan ingkar janji Sultan Hadiwijaya, tidak bisa diterima. Meskipun memang penyerahan bumi Mentaok mesti harus menunggu hingga lima tahun lamanya, dan itupun atas desakan Sunan Kalijaga.

Senapati menghela nafas panjang, masih bingung untuk menanggapi suratnya Tumenggung Mayang adik iparnya. Membela  tindakan Pabelan, itu tidak mungkin. Karena memang  atas kebodohan Pabelan berani menggoda putri sekar Kedaton, dan ini memang hukumannya berat, tidak hanya dianggap menghina Raja tetapi sudah menodai martabat istana. Sebagai maling aguna hukumannya adalah dibunuh, dan seluruh rakyat di Kasultanan Pajang mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun