Pakuwon Randulawang
Ki  Juru Martani di dalam pakuwon sedang mengatur strategi bersama Penguasa Mataram Senapati Ing Ngalaga, "jebeng Sutawijaya, kadya paran ing karsanira, tan wurung aprang klawan ramanta Sultan Pajang sayekti pira dohé mung let iku sadhidhik kali Opak, wengi iki benjing aprang pupuh, manira kelakung merang mulat mantri Pajang yekti Yen tempuh ngawaki yuda, Dene tua mungsuh siwi rebut nagri aprang pupuh " (anakku Sutawijaya, bagaimana pendapatmu, kini mau-tidak mau akan terjadi pertempuran melawan Sultan Pajang, wadyabala Pajang sudah dekat, dan jaraknya hanya diseberang kali Opak, malam inilah penentuannya, kalau besuk pagi akan terjadi perang besar dan tentu banyak korban, aku dapat menyaksikan pertempuran yang luar biasa antara ayah melawan anaknya hanya berebut soal tahta).
Senapati menjawab: " Kadospundi paman, manira inggih anurut karsa jengandika " (menurut paman juru bagaimana baiknya, aku ikut saja).
"Yen sembada lawan karsa, para dhingin semayan Raja Dewi, sedheng tinagih ing kèwuh, manira ya semayan Panembahan Gunung Mrapi ing Nguni wus sumanggup" (jika memang tidak ada pilihan lain, maka kau hubungi dulu Nyai Ratu Kidul, yang katanya dulu pernah berjanji akan membatumu jika terjadi kesulitan. Aku sendiri akan menghubungi Panembahan Gunung Merapi, yang sebelumnya pernah menjanjikan akan siap membantu kalau aku memintanya).
Nyai Ratu Kidul adalah penguasa Laut selatan yang memiliki bala tentara berupa lelembut [ makhluk halus ] hanya orang tertentu yang dapat melihat wujud pasukan laut selatan itu diataranya Senapati, Ki Juru Martani maupun Sunan Kalijaga. Demikian pula yang disebut oleh Ki Juru Martani dengan Panembahan Merapi, sebenanrnya adalah makhluk halus penguasa gunung Merapi. Panembahan Merapi ini juga memiliki wadyabala berupa bajo barat, drubiksa dan sejenisnya yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.
Senapati Ing Ngalaga, setelah mempertimbangkan masak-masak untuk meminta bantuan penguasa Laut Selatan dan Penguasa Gunung Merapi, karena jika hanya mengandalkan kekuatan dari Perdikan Mataram masih kalah jauh kemampuan tempurnya untuk melawan pasukan Pajang. Disamping kalah jumlah, pasukan Mataram sama sekali belum memiliki pengalaman berperang melawan musuh, mereka dilatih hanya sekedar untuk mempertahankan wilayah bumi Perdikan Mataram saja.
Sementara itu, pasukan dari Pajang adalah para prajurit terlatih, mereka biasa menghadapi perang terbuka, dan pula pengalaman tempurnya sudah beberapa kali menaklukan Kadipaten yang mbalela maupun tidak mau bergabung dengan Pajang. Bahkan mereka itu prajurit bentukan sukarela, sejak masih Kadipaten Pajang belum berubah menjadi Kasultanan.
Melihat keadaan para prajuritnya jika Mataram hanya mengandalkan kemampuan militernya bagaikan sulung mlebu geni , sama saja bunuh diri, maka ia beranjak dari tempat duduknya dan keluar di pelataran perkemahan.
Bebereapa saat Senapati memandang sekeliling yang nampak hanya beberapa lentera, selbih kegelapan malam yang mencekam. Sambil menghela nafas panjang, Senapati mondar-mandir sambil menundukkan kepala, dan sesekali menengahdakan kepalanya kelangit, memandang jauh ke utara, nampak puncak gunung Merapi yang berdiri kokoh. Kemudian menebarkan pandangnya ke arah selatan jauh, hanya nampak awan malam yang beiring semakin gelap.
Kemudian Senapatiduduk bersila kedua tangan menyilang di depan dada, memusatkan pikirannya, kepala menengadah kelangit, dalam konsentrasinya Senapati memanggil penguasa Laut Selatan. Beberapa  saat kemudian dari arah selatan muncul awan hitam bergulung-gulung yang mengeluarkan suara gemerincing, angin bertiup kencang dan diiringi hujan.
Angin topan mengguncangkan pepohonan besar dan tumbang berhamburan. Derai tawa dan sorak sorai prajurit lelembut dan bekasakan dari Laut selatan mengawal perjalanan Nyai Ratu Mas Penguasa Laut Selatan.
Sementara dari arah utara gemuruh angin bertiup kencang, awan hitam menggulung, hujan abu, puncak Merapi memuntahkan lahar dingin mengalir kearah tenggara menerjang pakuwon Prambanan.Pasukan Pajang yang sedang istirahat menjadi terkejut, mereka segera berlarian dalam gelap malam, dan kebingungan, prajurit yang makuwon di hutan Prambanan nyaris tidak terkendali, karena aba-aba dari panglima pasukan, sama sekali tidak terdengar oleh teriakan prajurit yang panik. Masing-masing yang ada di dalam perkemahan lari bertebaran mencari keselamatan diri pribadi masing-masing. Sikap militansi sebagai pasukan terlatih, pada saat itu sudah hilang sasma sekali, yang berkecamuk hanyalah mencari selamat untuk hidupnya masing-masing.
Malam itu merupakan malam yang menyengsarakan bagi wadyabala Pajang, mereka lari tunggang langgang mencari hidup. Adapun di perkemahan Sultan Pajang, prajurit pengawal segera melalrikan Sri Sultan Hadiwijaya menjauh dari mencana yang sedang menerjang pakuwon, mereka melarikan diri ke arah timur.
Derai  tawa dan sorak gempita kemenangan wadya bala lelembut baik dari Laut selatan maupun Gunung Merapi, yang berhasil menguasai pakuwon Randulawang, mereka bersenang-senang melempar batu panas sambil menggiring lahar menerjang pakuwon wadyabala Pajang. Banyak prajurit Pajang yang tewas karena tidak sempat melarikan diri. Mereka yang selamat adalah, mereka yang pada malam itu tidak tidur, bagi yang terlelap, mereka diterjang lahar dari gunung Merapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H