“Kakek, saya bantuin, ya?”
“Ya, ya, bersihkan yang di ujung sana.”
Kakek tertawa dan mengelus-elus rambut saya. Saya berlari ke ujung yang lain, lalu mulai mengelap peti mati buatan kakek.
Begitulah, kakek adalah pembuat peti mati satu-satunya di desa kami, tapi kakek hanya membuatnya setelah musim tani usai. Dalam satu tahun hanya satu peti mati yang ia hasilkan. Ya, satu tahun untuk satu peti mati.
Soal angka satu ini sepertinya sudah jadi angka keramat bagi keluarga kami. Lihatlah, saya adalah anak satu-satunya dari bapak, sementara bapak adalah anak kakek satu-satunya, dan kakek tentu saja anak tunggal.
Bisa dikatakan hanya bapak dan kakek keluarga saya. Ibu pergi meninggalkan rumah saat saya masih menyusu di dadanya. Saya tidak pernah tahu ke mana ibu pergi. Tidak seorang pun memberitahu alasan mengapa ibu pergi. Tapi dulu ada tetangga yang sering mengejek saya, katanya ibu perempuan nakal karena lari dengan mandor perkebunan.
Saya tidak pernah mencari tahu apakah ibu benar-benar lari dengan lelaki lain. Barangkali saya sadar bahwa saya masih kecil atau mungkin sekedar takut untuk mengetahui sebuah kebenaran. Cerita macam itu terlalu sedih untuk dikenang. Sebelum bapak meninggal satu tahun lalu, saya sering melihat bapak menangis malam-malam bila kangen pada ibu.
Dulu, setiap malam bapak selalu duduk di teras rumah. Suatu kali saya pernah bertanya, kenapa bapak selalu duduk di sana. “Sebentar lagi ibumu pulang,” katanya. Suaranya terdengar datar. “Malam ini atau besok, dia akan datang.” Kalau sudah begitu, bapak akan menitikkan air mata.
Kebiasaan bapak ini sering membuat kakek marah. Katanya bapak laki-laki cengeng. Bapak akan marah jika kakek sudah berkata seperti itu dan ganti mengejek kakek sebagai laki-laki berhati batu. Jika sudah begitu, saya akan menjauhi pertengkaran mereka lalu mengurung diri dalam kamar sambil mengutuki malam karena membuat duka bapak semakin suram seperti kata-kata yang sulit dieja di atas selembar kertas kusam.
Saya tidak mau seperti bapak, menangisi sesuatu yang tidak ada.
Namun ada satu kenangan tentang diri bapak yang saya sangat senang untuk mengingatnya. Begini, ketika bapak masih hidup, ia rajin mengajak saya ke gereja. Ya, gereja, dengan dentang loncengnya yang sendu dan menjauh itu. Saya senang mendengar lonceng gereja karena serupa suara bapak saat memanggil-manggil saya agar cepat bangun di Minggu pagi yang mendung.