Pemerintah saat ini sangat pandai bermain kata-kata dalam berargument dan melakukan kebijakan. Dalam beberapa saat ini ada beberapa kata-kata yang sangat menarik perhatian saya, beberapa diantaranya sebagai berikut;
GUSUR JADI GESER. Â Meleleh kita mendengar janji pemerintah ketika memberi harapan-harapan kepada rakyat jelata. Terutama yang berada di bantaran sungai yang setiap tahun menimbulkan banyak masalah. Kebijakan-kebijakan pemerintahpun selalu hanya memberi janji palsu. Dulu, diserang ketika melakukan penggusuran.Â
Sekarang kata gusur dihilangkan, malah menjadi kata geser. Seorang warga di kali pulo dijanjikan oleh Gubernur Anies bahwa rumahnya akan digeser. Dan dengan kata-kata mutiara penuh buaian dan rayuan kelapa, Gubernur Anies pun meyakinkan warga tersebut untuk merelakan rumahnya digeser. Berikut pernyataan Gubernur Anies dengan kata-kata mutiranya. ( indovoices.com)
SUSUN JADI LAPIS. Nah ini lagi, saat rumah susun banyak yang rusuh, karena setelah digusur beberapa rakyat jelata bahkan dipindahkan sangat jauh dari tempat semula dan sekarang masih kebingungan mencari tempat usahanya. Sekarang malah esensi kata SUSUN diubah menjadi LAPIS. Secara bahasa rumah lapis dan rumah susun? Apakah ada bedanya? Toh sama saja harus akan membayar sewa, listrik, air dan lain lainnya hingga tak sanggup bayar akan terlempar keluar. "(Rumah lapis) intensitasnya rendah. Kalau rumah susun bisa sampai lantai 16.Â
Kalau ini penataan yang sesuai dengan kemauan warga mereka tidak ingin dipindah terlalu jauh dari areanya. Mungkin ada yang disebut sebagai konsolidasi tanah. Land consolidation, itu bisa di-google saja land consolidation," kata Sandiaga di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2017). ( detik.com)
NORMALISASI JADI NATURALISASI. Hal ini masih ada sambungannya dengan gusur serta geser. Dengan melakukan normalisasi sungai yang sekarang diganti dengan naturalisasi, tetap saja berimbas masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai harus pindah ke rumah susun maupun lapis. Hm..... sangat pandai memainkan kata-kata ya, hingga wong cilik terkecoh. Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengemukakan istilah naturalisasi saat ditanya soal solusi untuk permasalahan sungai yang meluap dan mengakibatkan banjir di Jakarta.Â
Padahal sebelumnya, publik sudah akrab dengan istilah normalisasi sungai. "Normalisasi lebih kepada penataan sungai itu sendiri. Tapi kalau menaturalisasi, maka banyak aspek yang berkaitan dengan sungai yang dikembalikan ke fungsinya, termasuk kebersihan, penghijauan, hingga interaksi warganya. Jadi naturalisasi sifatnya lebih holistik," tutur Isnawa.(detik.com)
OPEN-GOVERNANCE JADI DOORSTOP. Pada saat itu, Maret 2017 lalu, Anies menyebut sistem pemerintahan terbuka (open governance) yang akan dianutnya mencakup soal keterbukaan informasi dan partisipasi warga dalam membangun ibu kota. Namun saat sudah resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, janji itu tampak seperti menguap begitu saja, setidaknya sampai dua minggu keduanya menjabat pemimpin di Jakarta ini.Â
Namun, selama dua minggu ini, keterbukaan Anies-Sandi dalam menjalankan programnya mulai dipertanyakan. Mulai dari sikap keduanya menghadapi kelanjutan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang hingga kini masih belum jelas. "Tertutup. Perintahnya seperti itu," ujar seorang petugas Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) DKI Jakarta kepada wartawan sambil mengarahkan keluar. (CNN.com)
Nah, kenapa menjadi doorstop kepada para wartawan? Semoga tidak ada yang ditutup-tutupi lagi mejelang setahun kepemimpinannya. Semoga kedepannya menjadi lebih memperhatikan rakyat, bukan karena ada apa-apanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H