Hmm begitu susah kah untuk masuk ke Tibet? Ketika tiket kami di cek oleh masinis. kami tidak tahu persis apa maksud masinis itu,intinya passport kami dan Tibet permit kami di cek berkali-kali. Hm sempat panik,untungnya pihak hostel menolong kami dengan berbahasa mandarin via telefon yang mungkin meminta agar kami tidak dipermasalahkan.
berfoto bersama warga lokal yang ramah
Akan tetapi,fokus kami justru bukan karena dipermasalahkan oleh pihak masinis,tapi karena seisi gerbong melihat kami seperti artis yang datang dari negara asing,yang mereka ingin sekali tahu lagi bicara pakai bahasa apa,bahkan dari saya tidur sampai buka mata,orang didepan saya ngeliatin terus dengan wajah senyum-senyum..
Hari kedua di kereta mereka terbilang sudah “terbiasa” dengan kami,lalu kami bertukaran uang koin. Saat kami berikan uang 500-1.000 rupiah,mereka terlihat sangat senang. Mereka menimbang berat antara uang koin Indonesia dengan uang koin Yuan.
para penjual di dalam stasiun
Untuk fasilitas di dalam kereta terdapat kursi hard sheet dan sleeper yang berupa tempat tidur. Penerangan dikereta cukup baik,kursi juga terbilang empuk dan terdapat air panas untuk menyeduh minuman,hanya saja toilet yang sangat bau dan jorok.
pemandangan di sekeliling kami sudah di selimuti dengan gunung es! Ahhhh benar-benar bersyukur dengan sang Maha Pencipta,saya bisa melihat pemandangan itu diusia 19 tahun karena tidak pernah memikirkan sebelumnya.
Suhu udara semakin rendah mencapai 0 derajat celcius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H