Pengertian Gender
Anthony Giddens (1989: 158) menjelaskan bahwa yang dinamakan gender itu adalah, Â "the psychological, social and cultural differences between males and females" yang berarti perbedaan psikologis, sosial, dan budaya antara laki-laki dengan perempuan. Dan salah satu ahli dalam bidang sosiolog, John C. Macionis (1996: 240) juga menjelaskan bahwa gender itu adalah "the significance a society attaches to biological categories of female and male" yang berarti, arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis perempuan dan laki-laki.
      Jadi konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara laki-laki dengan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat yang sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat tersebut. Konstruksi sosial budaya yang telah menganggap gender sebagai suatu yang kodrati tersebut dapat dilihat sebagai berikut, misalnya perempuan itu identik dengan kasur, sumur, dapur, dan perempuan juga memiliki ciri kepribadian tertentu seperti watak yang keibuan, tidak agresif, berhati lembut, dan mempunyai seksualitas feminim. Sedangkan laki-laki identik dengan bekerja, berorganisasi, berpolitik, sampai dengan pengelolaan ekonomi dalam rumah tangga.Â
      Ketidakadilan diatas terjadi karena norma dan nilai masyarakat yang menentukan batas feminitas dan maskulinitas, sehingga memunculkan pembagian peran dan kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan.Â
Menurut para penganut feminism, pandangan masyarakat terhadap perempuan telah mempersempit ruang gerak perempuan dan mengakibatkan ketidakadilan gender atau hak asasi yang ada pada perempuan. Maka dari itu mereka bekerja keras untuk menghapus ketidakadilan gender ini dan menuntut untuk menyamaratakan antara laki-laki dengan perempuan.
       Ketidakadilan gender merupakan tindakan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap salah satu gender, atau lebih tepatnya pembatasan peran, pemikiran dan perbedaan perlakuan yang berakibat pada terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan.
      Adapun lima bentuk ketidakadilan gender, yaitu: Subordinasi, Stereotipe gender, Beban ganda, Marginalisasi, dan Kekerasan.
- Subordinasi merupakan suatu penilaian atau anggapan yang diberikan oleh masyarakat bahwa satu gender memiliki nilai peran yang berbeda dengan gender lain, baik lebih tinggi maupun lebih rendah. Misalnya ada anggapan bahwa perempuan itu irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting; dan dibatasinya perempuan dalam aktivitas tertentu dan dinilai rendah (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:225).
- Stereotipe gender merupakan kepercayaan akan adanya perbedaan ciri-ciri, atribut, atau peran yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Atau lebih tepatnya pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang mengakibatkan ketidakadilan. Misalnya dalam masyarakat pedesaan, yang memandang bahwa perempuan tidak perlu belajar tinggi-tinggi, karena nantinya tetap akan berakhir di dapur, kasur, dan sumur.
- Beban ganda atau dapat diartikan dimana perempuan pada banyak situasi dan banyak budaya (terutama pada negara-negara yang menganut sistem patriarki) menanggung beban ganda dari kehidupan keseharian. Contoh yang ada dimasa sekarang, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bekerja sebagai pegawai disebuah perusahaan, tetapi ketika pulang kerumah, perempuan harus menyiapkan makan malam, menidurkan anak-anaknya, dll. Beda halnya dengan laki-laki, mereka dapat langsung tidur, bersantai sambil bermain sosmed, dll. Inilah kenapa disebut dengan beban ganda terhadap perempuan, karena kita bisa lihat sendiri bahwa perempuan lebih banyak beraktivitas/beban kerja dibandingkan laki-laki.
- Marginalisasi, diartikan sebagai arti yang disisihkan atau dinomorduakan. Fakih (2010) menjelaskan bahwa marginalisasi adalah proses pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Perempuan dianggap kurang berhak menjadi pemimpin, dan perempuan juga kurang layak mendapatkan gaji yang lebih daripada laki-laki. Dengan begini kaum perempuan tidak punya kekuatan dan akan selalu berada dibawah kekuasaan laki-laki.
- Kekerasan, menurut Fakih (2010) dalam buku Gender dalam Perspektif Psikologi menyebutkan ada delapan bentuk kekerasan yang berbasis pada bias gender, yaitu: Perkosaan, Kekerasan dalam rumah tangga, Kekerasan dan penyiksaan terhadap organ genital, Pelacuran/prostitusi, Pornografi, Kekerasan dalam kontrasepsi, Kekerasan terselubung, dan yang terakhir Pelecehan seksual.[7] Dari delapan bentuk kekerasan yang tadi disebutkan, kita dapat melihat bahwa aktivitas tercela tersebut dapat menimbulkan efek negatif yang berdampak pada fisik maupun psikologis dan tentu telah melanggar hak asasi manusia.
Relasi Gender di Indonesia
      Masa sebelum kemerdekaan sekitar 1904 -- 1945, perempuan sudah bergerak memperjuangkan hak-hak mereka walaupun secara individual. Salah satu dari tujuan pergerakan perempuan di Indonesia ini adalah untuk memberi kesempatan pendidikan yang seimbang dengan laki-laki. Akhirnya, ada dua orang pahlawan Indonesia yang bernama Dewi Sartika dan R.A Kartini yang telah mendirikan sekolah khusus perempuan di Bandung pada tahun 1904 yang bernama Sekolah Keutamaan Istri dan di Semarang pada tahun 1912.
      R.A. Kartini menjelaskan beberapa hal yang telah melanggar hak asasi perempuan pada masa itu, seperti kawin paksa, poligami, perceraian secara sewenang-wenang oleh laki-laki, dan perempuan yang sudah berkeluarga juga tidak boleh keluar rumah pada saat itu oleh suaminya. Maka dari itu Kartini membuat sekolah perempuan agar kaum perempuan tidak selalu tertindas oleh para laki-laki. Karena Kartini sendiri telah menyadari bahwa di Indonesia ada perbedaan hierarkis yang terdapat pada laki-laki dengan perempuan (Rajab 2002: 22-23).
      Setelah kemerdekaan, tujuan pergerakan perempuan adalah untuk melawan kemiskinan dan ketidakadilan, hampir sama dengan masa sebelum kemerdekaan, yakni memperjuangkan hak untuk berpendidikan dan kesempatan bekerja.