Modal sosial mengacu pada jaringan dan hubungan yang dimiliki seseorang, termasuk dalam lingkup keluarga, yang berfungsi sebaga sumber daya politik. Di Indonesia, modal sosial keluarga yang kuat sering kali menjadi landasa bagi politik dinasti. Seorang tokoh politik yang memiliki jaringan luas dan pengaruh d masyarakat sering kali dapat "mewariskan" jaringan kekuasaannya kepada anggota keluarga terutama di daerah-daerah di mana basis massa dan dukungan masyarakat lebih didominasi ole nama besar atau pengaruh keluarga.
Selain Bourdieu, konsep dominasi Max Weber juga relevan untuk menjelaskan politik dinasti. Menurut Weber, otoritas atau kekuasaan dapat diperoleh melalui tiga bentuk utama: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Dalam konteks politik dinasti, kekuasaan sering kali diperoleh melalui otoritas tradisional, di mana nama besar keluarga dianggap sebagai legitimasi untuk memegang kekuasaan. Fenomena ini sering kita temui di masyarakat di mana tokoh keluarga atau kepala keluarga yang berkuasa dianggap sebagai "pemimpin alami" yang memiliki otoritas.
Dari perspektif teori ini, kita bisa melihat bagaimana politik dinasti bisa terjadi dan bahkan diterima di masyarakat. Hubungan keluarga bukan hanya menjadi jaringan sosial, tetapi juga alat legitimasi untuk memperkuat kekuasaan. Namun, masalahnya, praktik ini dapat mereduksi aspek legal-rasional dalam demokrasi, di mana pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kompetensi dan kualitas pribadi, bukan sekadar nama besar atau hubungan keluarga.
Para pendukung politik dinasti berargumen bahwa dinasti politik dapat membawa stabilitas dan keberlanjutan. Alasannya, calon dari keluarga yang sama biasanya memahami visi dan misi yang sudah dirancang dan dijalankan oleh anggota keluarga sebelumnya. Dengan demikian, politik dinasti dianggap dapat menjamin kesinambungan program dan proyek pembangunan, terutama di wilayah yang memerlukan stabilitas jangka panjang.Â
Selain itu, pendukung politik dinasti sering kali berargumen bahwa seseorang yang berasal dari keluarga politik besar memiliki pengalaman tidak langsung dalam politik sejak kecil, sehingga lebih siap untuk memimpin dibandingkan individu lain. Mereka yang mendukung politik dinasti berpendapat bahwa keluarga politik memiliki reputasi, jaringan, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan masyarakat, sehingga lebih mampu menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Di sisi lain, kritik terhadap politik dinasti menekankan bahwa hal ini dapat membatasi akses individu lain yang memiliki potensi dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Mereka yang tidak memiliki latar belakang keluarga politik akan mengalami hambatan yang lebih besar untuk terjun dalam politik. Dengan kata lain, politik dinasti dianggap menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi politik, sehingga mengurangi keberagaman ide dan inovasi dalam pemerintahan.Â
Selain itu, politik dinasti juga dianggap mengancam prinsip meritokrasi, di mana pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan hubungan keluarga. Ketergantungan pada keluarga pejabat juga meningkatkan risiko nepotisme dan korupsi karena kekuasaan tidak didistribusikan secara adil dan transparan. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa memperkuat budaya oligarki dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Dengan mempertimbangkan kedua argumen di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa politik dinasti tidak sepenuhnya negatif jika dikelola secara transparan dan adil. Di satu sisi, keberlanjutan dan stabilitas memang penting, terutama di daerah yang menghadapi tantangan pembangunan. Namun, stabilitas ini seharusnya tidak mengorbankan prinsip demokrasi dan meritokrasi. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan ketat dan regulasi yang mengatur agar politik dinasti tidak berkembang menjadi oligarki yang merusak demokrasi.
Regulasi yang Lebih Ketat terhadap Politik Dinasti.Â
Pemerintah perlu memperketat regulasi terkait pencalonan pejabat yang berasal dari keluarga petahana. Misalnya, menerapkan peraturan yang melarang pejabat publik untuk langsung meneruskan jabatannya kepada anggota keluarga tanpa melalui proses seleksi atau pemilihan yang ketat. Regulasi semacam ini dapat mendorong individu yang kompeten untuk bersaing secara sehat, tanpa harus terhambat oleh nama besar atau jaringan keluarga yang sudah ada.