Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perceraian Rama & Sinta [Edisi Ramayana Suka-suka Saya]

24 Maret 2011   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pada senja yang temaram pertemuan itu terjadi. Tangis haru memecah tak bisa dicegah. Semua larut dalam kebahagiaan yang berbalut airmata. Sukacita merebak dan menyebar kemana-mana. Setelah sekian lama ditawan oleh Rahwana, akhirnya Sinta bisa kembali ke pangkuan Rama. Namun itu tidak bertahan lama, mendadak Rama berdiri dan melepas Sinta dari pelukannya.

“Aku tidak bisa menerimamu kembali begitu saja Sinta,” ucap Rama tiba-tiba.

“Mengapa bisa begitu Kanda? Bukankah selama ini kau telah mempertaruhkan segalanya guna merebutku dari Rahwana? Tapi setelah aku kembali, kenapa engkau berbalik seperti ini?”

“Kepercayaanku sudah luntur semenjak engkau tidak mematuhi perintahku untuk tetap berada di lingkaran saat berada di hutan Kamandaka.”

“Kanda, bukankah semua itu sudah lalu? Kenapa engkau masih mengungkit-ungkitnya? Aku tetap Sinta, istrimu yang setia dan selalu mencintaimu.”

“Aku tak perlu ucapan, aku hanya ingin bukti bahwa kau setia.”

“Apakah kesetiaanku selama ini masih kurang?”

“Kau ditahan Rahwana selama beberapa waktu, mustahil dia tidak melakukan sesuatu padamu.”

“Kanda, kau pikir aku wanita macam apa? Dia tak pernah melakukan apapun padaku. Bahkan menyentuh kulitkupun tak pernah aku ijinkan. Apakah itu kurang cukup bagimu? Harus kubuktikan dengan apa lagi kesetiaanku?”

“Bakar dirimu. Melompatlah ke api pembakaran itu. Saat kucium aroma wangi dari asap yang keluar dari pembakaran itu adalah pertanda bahwa kau masih suci dan benar-benar perempuan setia.”

“Kemudian aku meninggal. Apa baiknya dari itu semua?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun