Asap putih kehitaman mengepul tanpa henti dari cerobong. Di bawahnya, mesin ketel yang membara terus berderak menyuling aneka bagian tanaman mulai dari akar, daun, batang, hingga rimpang. Aroma wangi pun terus menguar dari tempat penyulingan, memenuhi udara dan melesat menjauh hingga perkampungan. Di sudut yang lain, kendaraan lalu lalang keluar masuk pabrik membawa aneka simplisia yang hendak disuling. Sedangkan di warung sekitar pabrik, para pekerja yang selesai bertugas asyik berbincang dan menyeruput secangkir kopi hangat.
Hal itulah yang muncul di benak saya tatkala membayangkan aktivitas keseharian yang ada di Pabrik Pengolahan Minyak Atsiri yang terletak di Lereng Gunung Lawu ini. Puluhan tahun lalu, suasana pabrik begitu hidup sekaligus mampu menggerakkan perekonomian warga. Aneka tanaman (khususnya sereh wangi) didatangkan dari berbagai daerah, lantas disuling untuk diambil ekstraknya hingga menjadi minyak atsiri (essential oil) yang bisa digunakan sebagai bahan dasar aneka kosmetik hingga obat-obatan.
Minyak atsiri yang berasal dari tanaman ini lantas kerap disebut dengan istilah emas hijau. Sebab setelah melalui proses penyulingan, aneka tanaman yang awalnya kurang memiliki nilai fungsi dan nilai jual berubah menjadi komoditas ekspor dengan nilai jual yang tinggi.
Bahkan berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2006 Indonesia menjadi produsen utama yang mengekspor minyak atsiri (minyak nilam) ke berbagai negara seperti Amerika, Singapura, Jepang, Perancis, Switzerland, Inggris, Taiwan, Belanda, Jerman, dan Tiongkok. Sedangkan data lainnya menyebutkan dari sekitar 160-200 jenis tanaman di dunia yang berpotensi mengasilkan minyak atsiri, sekitar 120 jenis tanaman tumbuh dengan subur di Indonesia. Wow, sebuah fakta yang cukup mencengangkan.
Rupanya potensi alam itulah yang menjadi salah satu pijakan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, untuk membangun pabrik pengolahan minyak atsiri di Tawangmangu. Bekerjasama dengan pemerintah Bulgaria, pada tahun 1963 pabrik pengolahan minyak atsiri dibangun di Desa Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Dipilihnya kawasan Tawangmangu sebagai lokasi pembuatan pabrik karena iklim yang ada sangat cocok untuk budidaya tanaman penghasil minyak atsiri, khususnya tanaman sereh wangi.
Sebagai salah satu proyek mercusuar pemerintahan kala itu, Ir. Soekarno menginginkan sebuah pabrik yang tidak hanya megah namun monumental. Hal itu lantas diaplikasikan dalam desain arsitekturnya yang unik dan menarik. Pada masa itu penyangga sosrobahu sudah digunakan. Selain itu pabrik ini juga menerapkan konsep ramah lingkungan dan hemat energi.
Pabrik ini juga disebut-sebut sebagai pabrik pengolahan minyak atsiri terbesar di Asia Tenggara. Dengan membangun pabrik penyulingan sendiri, Ir. Soekarno berharap Indonesia yang kala itu masih negara muda mampu menjadi mercusuar dunia di bidang minyak atsiri sekaligus mampu menyejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Namun sayangnya gejolak politik yang terjadi pada tahun-tahun tersebut membuat cita-cita Soekarno tidak bisa berjalan dengan sempurna. Pabrik harus mengalami perjalanan yang berliku serta berpindah-pindah tangan. Hingga akhirnya pabrik tutup dan bangunannya yang megah mangkrak begitu saja. Pabrik yang diharapkan menjadi mercusuar itu rupanya kehilangan cahaya, meredup, lantas mati.
Harapan dan Mimpi Untuk Museum Minyak Atsiri
Untunglah kini ada pihak yang tergerak untuk mengembalikan kembali jejak kemilau emas hijau. Pabrik yang sudah mangkrak bertahun-tahun sedang direvitalisasi untuk menjadi destinasi wisata baru dan terpadu bernama Museum Minyak Atsiri. Meski memakai istilah museum, bukan berarti tempat ini akan menjadi penyimpanan benda-benda tua dan usang seperti museum kebanyakan. Museum Minyak Atsiri diharapkan mampu menjadi pusat pembelajaran terpadu tentang atsiri secara khusus dan ilmu pengetahuan secara umum.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu saja museum harus dikenalkan pada masyarakat luas supaya mereka mau datang berbondong-bondong untuk belajar. Sebab percuma juga dibangun museum megah jika tidak ada wisatawan yang berkunjung. Salah satu cara terbaik untuk mendatangkan pengunjung adalah dengan menggelar program secara berkala baik per minggu, per bulan, atau per tahun. Yang penting programnya menarik dan melibatkan masyarakat.