Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jogja Pop Culture: Dari Angkringan Hingga Last Friday Ride

28 Desember 2012   00:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:56 1595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya masih ingat betul perbincangan dengan seorang kawan asal Jakarta di sebuah angkringan dekat kampus. Kala itu malam telah larut, dan kami masih asyik berdiskusi tentang banyak hal. Entah mulanya membahas apa, tapi perbincangan kami berlanjut mengenai masalah kemacetan di Jakarta yang tidak bisa lagi ditolelir. Dia pun berujar “Kalau tinggal di Jakarta, kamu bakal mati tua di jalan,” dan iseng saya jawab “Kalau tinggal di Jogja, kita bakal mati tua di angkringan”. Lantas kami pun terbahak bersama.

Bukan tanpa alasan jika saya berujar seperti itu. Angkringan merupakan salah satu tempat nongkrong paling favorit bagi warga Jogja, khususnya bagi para mahasiswa. Tidak peduli warung kopi dan cafe dengan wifi merebak di mana-mana, angkringan tetap mempunyai pesonanya sendiri dan selalu diminati. Warung Angkringan yang ada disepanjang jalan pasti selalu ada pembelinya. Angkringan tidak hanya menjadi tempat membeli makanan namun juga menjadi ruang komunal tempat berinteraksi dengan masyarakat, tempat para aktivis kampus melakukan diskusi untuk mengadakan kegiatan terkini, tempat berbagi kesah tentang dosen yang killer atau tentang kuliah yang tak kunjung selesai, hingga tempat curhat tentang hati yang baru saja dipatahkan. Dan penjual angkringan akan mendengarkan semuanya tanpa kesah, sembari menjerang ceret-ceretnya di atas api.

[caption id="attachment_231867" align="aligncenter" width="552" caption="Angkringan Jogja (Foto: Dendi Julius)"][/caption]

Entah mulai kapan angkringan menjadi salah satu tempat nongkrong kawula muda di Jogja. Konon, dulu saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX hendak bertolak ke jakarta untuk bertugas sebagai Wakil presiden, beliau mengadakan perpisahan di Angkringan Tugu yang juga dikenal dengan nama Angkringan Lik Man. Kejadian ini  tertulis dalam catatan sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak heran jika kini Angkringan Tugu menjadi begitu populer. Bahkan banyak orang bilang salah satu tempat wajib dikunjungi dan kuliner wajib coba ketika sedang berada di Jogja adalah Kopi Joss di Angkringan Tugu ini.

[caption id="attachment_231868" align="alignleft" width="312" caption="Kopi Jos"]

13566558921594600573
13566558921594600573
[/caption]

Angkringan yang dikenal dengan menu sego kucingnya ini kini tidak hanya diminati oleh kelas menengah ke bawah, namun banyak juga orang-orang bermobil yang nongkrong di angkringan. Lihat saja, tiap malam Angkringan Tugu, Angkringan KR yang berada dekat Tugu (monumen), Angkringan Wijilan, atau Angkringan JAC Pendopo Dalem pasti selalu ada mobil yang terparkir disitu. Nongkrong di angkringan hingga menjelang pagi telah menjadi budaya yang mengakar dan tidak tergerus modernisme. Meski cafe berjubel, tetap saja kita bisa menjumpai kaum eksekutif muda berdasi duduk lesehan di salah satu sudut angkringan sembari menyesap wedang jahe dan menikmati sate usus. Lupakan segala aturan tentang table manner, di Angkringan Anda bisa makan sembari mengangkat kaki atau bersendawa sesudahnya. Semua itu menjadi hal yang lumrah dan wajar.

Selain istilah ngangkring (makan di angkringan), di Jogja juga dikenal istilah lesehan yakni makan di warung yang tidak menggunakan kursi dan hanya ada tikar sebagai alas duduk. Berbeda dengan warung angkringan yang sejarahnya merupakan tempat makan kaum ekonomi menengah ke bawah, budaya lesehan justru berasal dari komunitas seniman pimpinan Umbu Landu Parangi yang sering duduk lesehan di trotoar Jalan Malioboro untuk diskusi hingga mementaskan karya mereka. Budaya dan tradisi tersebut terus dihidupi hingga kini oleh masyarakatnya dan kaum mudanya. Kini, lesehan menjadi begitu identik dengan Jogja. Nongkrong di kawasan Nol Kilometer Jogja sembari duduk lesehan menikmati denyut kehidupan masyarakat Jogja di malam hari dan bercengkerama dengan kawan dan sahabat akan menjadi pengalaman yang tak kan pernah terlupa.

Tak hanya angkringan dan lesehan. Budaya dan gaya hidup yang dulunya milik masyarakat akar rumput namun kini berkembang menjadi budaya populer dan diminati oleh semua kalangan adalah budaya bersepeda. Dahulu, yang biasa menunggangi sepeda adalah orang-orang tua, para petani, maupun pedangan kecil-kecilan. Dengan sepeda onthel tua mereka berkendara di jalanan kota Jogja. Namun kini bersepeda juga menjadi gerakan yang dianjurkan pemerintah. Lewat program Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe), masyarakat diharapkan gemar bersepeda untuk mengurangi kemacetan sekaligus polusi udara. Jalur hijau dan jalur alternatif untuk sepeda pun dibangun, termasuk ruang tunggu sepeda di tiap lampu merah.

[caption id="attachment_231869" align="aligncenter" width="428" caption="Jogja Bersepeda (Foto: Towil Podjok)"]

13566559632045422472
13566559632045422472
[/caption]

Kini sepeda yang melaju di jalanan tidak hanya sepeda onthel malainkan beragam seperti sepeda lipat, fixie, hingga mountain bike. Gerakan bersepeda pun muncul dimana-mana. Bahkan, tiap jumat malam minggu terakhir di setiap bulannya, sepeda akan merajai jalanan. Ratusan pegowes yang kebanyakan berusia muda akan membanjiri jalanan dan turut serta dalam acara Jogja Last Friday Ride.

Saat akhir pekan pun kerap terlihat rombongan wisatawan baik wisatawan nusantara  maupun wisatawan mancanegara mengendarai sepeda dan melaju menuju kawasan wisata budaya Kotagede atau menuju ke barat. Salah satu rute yang digemari adalah menuju Parangtritis, Ganjuran, Kasongan, Desa Wisata Manding dan areal persawahan di kawasan bantul. Rute bersepeda lainnya yang cukup menarik adalah menyusuri tepian Selokan Mataram menuju barat hingga Sungai Progo, Sendangsono dan Borobudur. Jika memilih menyusuri Selokan Mataram ke arah timur maka kita bisa mampir ke berbagai candi seperti Candi Sambisari, Candi Plaosan, Candi Sewu, dan Candi Prambanan. Sedangkan bagi Anda yang memiliki nyali, Anda bisa mencoba bersepeda di daerah Kaliurang dan Kalikuning dengan track yang menantang.

Ah, membicarakan tentang budaya pop dan life style di Jogja yang istimewa ini memang tak kan pernah ada habisnya. Tak cukup hanya mendengar atau membaca kisahnya. Anda harus hadir dan menjelajahi mahakarya Indonesia di kota budaya ini. Rasakan sensasi melebur di jantung kebudayaan Jawa ini, kemudian bertualang menggunakan sepeda sembari mampir ke angkringan dan lesehan di Titik Nol KM. Jadi, kapan hendak ke Jogja lagi?

[caption id="attachment_231870" align="aligncenter" width="544" caption="Suasana Jogja Malam Hari (Foto: Vrian)"]

13566560181861232806
13566560181861232806
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun