Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jalan-jalan ke Istana

27 Maret 2010   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_103595" align="aligncenter" width="300" caption="Senja di Depan Istana"][/caption] Selama ini tiap kali melewatiJalan Ahmad Yani Yogyakarta, saya hanya bisa memandangi bangunan megah yang berdiri di kanan jalan sebelum perempatan Kantor Pos Besar. Sebenarnya saya ingin sekali memasuki bangunan itu dan berkeliling di dalamnya, namun semuanya itu tidak pernah bisa terlaksana. Paling banter yang bisa saya lakukan adalah duduk di depan Benteng Vredeburg sembari menatap gedung tersebut dari balik pagar besi dan berpikir “kapan ya bisa masuk ke gedung itu?”. Bagi Anda yang orang Jogja atau sering ‘berkeliaran’ di Jogja tentu saja tahu dengan pasti gedung apakah itu, yupz Anda benar bangunan tersebut adalah Gedung Agung. Gedung Agung merupakan salah satu dari 5 istana kepresidenan yang ada di Indonesia. Pembangunan gedung ini berawal dari keinginan Residen Jogjakarta ke-18, Anthonie Hendrick Smisaaert, tentangadanya ‘istana’ yang berwibawa yang bisa digunakan sebagai kantor dan tempat tinggal bagi residen-residen Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pun memilih Antonie Payen sebagai arsitek pembangunan gedung megah tersebut. Gedung ini mulai dibangun pada tahun 1824 dengan mengambil tempat di depan Benteng Vredeburg yang letaknya tidak jauh dari Kraton Yogyakarta. Hal itu tentu saja bertujuan supaya pihak Belanda bisa “mengawasi” kegiatan di Kraton. Pecahnya Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 menyebabkan pembangunan gedung terhenti. Gempa bumi dua kali yang terjadi pada tahun 1867 juga menyebabkan kerusakan parah pada bangunan tersebut. Gedung tersebut direnovasi dan rampung pada tahun 1869. Bangunan hasil renovasi inilah yang kemudian menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Gedung Agung inipun menjadi milik Indonesia. Pada saat pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta, Gedung Agung berubah menjadi Istana Kepresidenan dan digunakan sebagai tempat tinggal Presiden pertama RI, Ir. Sukarno beserta keluarganya. Sedangkan wakil presiden, Mohammad Hatta tinggal di gedung sebelahnya, yang saat ini menjadi gedung Korem 072/Pamungkas. Semenjak saat itu, banyak peristiwa penting dalam catatan sejarah Indonesia yang terjadi di Gedung Agung. Keberadaan Gedung Agung saat ini sejajar dengan keberadaan Istana Negara Jakarta, Istana Tampaksiring, Istana Bogor, dan Istana Cipanas. Dengan “embel-embelnya” sebagai Istana Kepresidenan tentu saja menjadikan gedung tersebut unreachable untuk masyakarat kelas bawah seperti saya. Eits tapi tunggu dulu, bukankah dalam’The Alchemist’ Paulo Coelho bilang “Ketika kau menginginkan sesuatu dengan sepenuh hatimu maka seluruh jagat raya bersatupadu membantumu mewujudkannya” dan ternyata itu terbukti benar. Setelah sekian lama ngidam ingin masuk Gedung Agung, saya berkesempatan mengunjungi serta berkeliling di bagunan tersebut. Setelah berhasil mengompori beberapa teman, kamipun berangkat ke Gedung Agung. Menjelang pintu masuktiba-tiba saya teringat novel Burung-Burung Manyar yang pertama kali saya baca saat masih mengenakan seragam putih abu-abu. Ada satu adegan dimana Setadewa a.k.a Teto bersama pasukan KNIL berjalan mengendap-endap dari arah utara menelusuri Tugu dan Malioboro untuk menyerbu serta mengambil alih Gedung Agung. Ah kali inipun saya juga berjalan dari arah utara, dari pasar Beringharjo. Saya juga membawa pasukan saya, bedanya jika pasukan Teto mungkin terlihat lusuh maka pasukan saya kali ini tampak rapi jali dengan batik, sepatu, celana kain, maupun rok (yang cewek). Romo Mangun kemudian mengisahkan tentang Teto yang duduk lunglai di atas tangga-tangga istana sambil mengenang satu gadis yang sangat dicintainya, Larasati. Nah kali ini berbeda, saya tidak lunglai memikirkan pria yang saya cintai, saya hanya tertunduk lesu karena tidak diijinkan membawa kamera ke dalam kompleks istana. Setelah disambut oleh petugas dan mendapatkan tanda pengenal, kami pun diajak untuk melihat dari dekat Gedung tersebut. Ruang pertama yang ditunjukkan adalah Ruang Garuda. Ruang Garuda merupakan ruangan resmi yang terletak di tengah gedung utama. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang pertemuan dan juga ruang untuk menerima tamu Negara. Di sebelah kanan Ruang Garuda terdapat Ruang Soedirman. Di ruangan ini Jendral Sudirman meminta ijin kepada Presiden Sukarno (yang saat itu sedang memimpin rapat di Ruang Garuda) untuk mulai melakukan gerilya melawan penjajah. Ruangan yang dihiasi dengan patung Jendral Sudirman tersebut saat ini difungsikan sebagai ruang transit untuk tamu negara yang datang ke Yogyakarta. Tak berlama-lama di ruangan tersebut mini tur pun dilanjutkan menuju ruang makan VVIP. Tempat ini biasa digunakan untuk acara jamuan makan malam. Satu hal baru yang saya ketahui, pada saat diadakan gala dinner semua kursi harus terisi penuh tidak boleh ada yang kosong. Lalu bagaimana caranya agar tau jumlah tamu yang datang? Satu jam sebelum acara dimulai, tamu undangan harus mengkonfirmasi kehadiran. Jadi, jumlah kursi akan langsung disesuaikan. Selain itu, bagi tamu yang datang berpasang-pasangan jangan harap bisa duduk berdampingan dengan pasangannya. Karena protokoler yang berlaku adalah tempat duduk diselang-seling antara tuan rumah dan tamu undangan. Beranjak dari ruang makan VVIP kami digiring menuju ruang kesenian. Di ruangan ini terdapat piano dan gamelan. Sesuai dengan namanya ruang kesenian, tentu saja ruangan ini digunakan sebagai ruang pertunjukan kesenian. Namun, terkadang ruangan ini berubah fungsi menjadi ruang makan, ruang pameran, ruang rapat, maupun ruang koordinasi pengamanan. Tampak dibalik jendela terdapat Wisma Sawo Jajar yang digunakan sebagai tempat menginap tamu. Selain itu juga ada wisma Bumi Pratelu yang digunakan untuk menginap rombongan paspampres, food security, dan terkadang menjadi ruangan display. Tak jauh dari situ juga terdapat Gedung Seni Sono. Tanpa terasa mini tur kali ini pun usai sudah. “Lho ini udah selesai to Sash?” tanya teman saya. Sayapun mengangguk pelan sambil mencari tas di tumpukan, berusaha mengeluarkan kamera dan mengambil gambar. Namun ternyata oh ternyata, sekali tidak boleh tetap tidak boleh, bahkan meskipun cuma mengambil foto gedung dari depan. “Ini aturan negara mbak!!” kata petugas keamanan. Jadi, apakah pembaca pernah berkunjung ke istana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun